Karya Tulis
886 Hits

Bab 3 Doa Nabi Ibrahim


وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ (35) رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (36(

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

(Qs. Ibrahim: 35-36)

 

Hikmah (): Negeri yang Aman

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: ‘Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman’.”

(1) Berkata Ibnu Katsir di dalam Tafsir al-Qur’an al-’Adhim (4/512)) “Pada ayat di atas, Allah menjelaskan kepada orang-orang musyrik Arab, bahwa Kota Mekkah, ketika dibangun pertama kali, dibangun di atas pondasi tauhid, hanya menyembah Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Nabi Ibrahim orang pertama yang membangun kota ini mengumumkan bahwa dirinya berlepas diri dari siapa saja yang menyembah selain Allah, dan berdoa agar Kota Mekkah diberikan keamanan.”

(2) Doa pertama kali yang dipanjatkan Nabi Ibrahim dalam ayat ini adalah memohon agar negeri yang beliau tempati dijadikan negeri yang aman. Keamanan sebuah negeri di sini mencakup; (a) aman dari peperangan, (b) aman dari bencana alam, (c) aman dari para penjahat, (d) seperti perampok dan pencuri, (e) aman dari segala bentuk penyakit.

(3) Mempunyai negeri yang aman adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan seorang muslim, karena dalam keadaan aman, dia bisa beribadah kepada Allah dengan tenang dan optimal, tanpa ada gangguan sedikit pun. Begitu juga, dia bisa memakmurkan bumi, menjalin silaturrahim, menyebarkan dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, dan membangun negeri.

(4) Al-Biqa’i di dalam Nuzhum Durar (4/386) menjelaskan perbedaan antara kata (al-balad) dan (balad) yang terdapat dalam surah al-Baqarah, yaitu kata (balad) menunjukkan bahwa Mekkah pada waktu itu belum ada penghuninya sampai Nabi Ibrahim meletakkan istri dan anaknya di tempat tersebut, dan berdoa agar tempat itu menjadi tempat yang aman. Sedangkan pada ayat yang terdapat dalam surah Ibrahim ini, menggunakan kata (al-balad) maksudnya adalah kota Mekkah yang sudah jelas berpenghuni.

(5) Yang dimaksud (al-balad) dalam ayat ini adalah kota Mekkah, yang berkat doa Nabi Ibrahim telah menjadi kota yang paling aman di dunia dengan rincian sebagai berikut;

(a) Aman dari pencurian. Para pedagang umpamanya, membiarkan barang dagangannya ditinggalkan begitu saja untuk pergi shalat di Masjidil Haram dan tidak ada satupun yang mengambilnya.

(b) Aman dari gempa. Kota ini hampir tidak pernah terjadi gempa karena dikelilingi oleh gunung-gunung batu yang sangat kokoh.

(c) Aman dari masuknya Dajjal. Dajjal yang menjadi fitnah bagi setiap muslim di akhir zaman, akan memasuki semua kota yang ada di dunia ini, kecuali kota Mekkah.

(6) Kemananan kota Mekkah disebutkan juga di dalam ayat-ayat lain, diantaranya;

(a) Firman Allah,

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ (96) فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (97

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Qs. Ali Imran: 96-97)

(b) Firman Allah,

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا جَعَلْنَا حَرَمًا آمِنًا وَيُتَخَطَّفُ النَّاسُ مِنْ حَوْلِهِمْ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللَّهِ يَكْفُرُونَ

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok. Maka mengapa (sesudah nyata kebenaran) mereka masih percaya kepada yang bathil dan ingkar kepada nikmat Allah?” (Qs. al-Ankabut: 67)

(c) Firman Allah,

 وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ (125) وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (126)

“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud". Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali". ” (Qs. al-Baqarah: 125-126)

(7) Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa rasa aman akan dirasakan siapa saja yang masuk Masjidil Haram, bahkan rasa aman ini juga meliputi hewan, pepohonan dan tumbuh-tumbuhan, yaitu dengan adanya larangan mengusir dan memburu hewan yang ada di dalamnya, dan menebang pepohonan serta tumbuh-tumbuhan. Ini sesuai dengan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

 لَا يُخْتَلَى خَلَاهَا وَلَا يُعْضَدُ شَجَرُهَا وَلَا يُنَفَّرُ صَيْدُهَا وَلَا تُلْتَقَطُ لُقَطَتُهَا إِلَّا لِمُعَرِّفٍ

Di Makkah tidak boleh diambil rumputnya dan tidak boleh ditebang pohonnya dan tidak boleh diburu hewan buruannya dan tidak ditemukan satupun barang temuan kecuali untuk diserahkan kepada juru pengumuman (agar dikembalikan kepada pemiliknya) " (HR. al-Bukhari, 1262)

Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin al-Khattab suatu saat secara tidak sengaja membuat burung-burung kaget dan terbang seketika. Salah satu burung ada yang menabrak batu sehingga mati, maka ‘Umar membayar denda untuknya.

(8) Shafiyu ar-Rahman al-Mubarakfury di dalam Sejarah Mekkah (hal. 21),  menjelaskan bahwa salah satu keutamaan Mekkah adalah jika seseorang merasa ketakutan kemudian memasuki Mekkah, maka dia akan merasa aman dari segala keburukan. Hal ini telah ada semenjak zaman jahiliyah. Disebutkan bahwa seorang laki-laki membunuh orang lain, kemudian dia masuk ke Masjidil Haram, maka dia aman. Jika salah satu ahli waris korban pembunuhan bertemu dengannya di dalam Masjidil Haram, dia tidak akan mengganggunya sampai pembunuh tersebut keluar darinya.

(9) Ibnu al-Jauzi di dalam Mutsira al-Gharam as-Sakin menyebutkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwasanya ia berkata, “Siapa yang melakukan tindak kejahatan kemudian masuk ke Baitullah untuk mendapatkan perlindungan, maka dia aman, dan tidak dibenarkan bagi kaum muslimin memberi hukuman padanya hingga dia keluar dari Mekkah. Dan jika telah keluar, maka dibolehkan menghukumnya.”

Hikmah (): Menjauhi Berhala

 وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

“Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.”

(1) Al-Biqa’i di dalam Nuzhum Durar (4/386) menyatakan bahwa setelah Nabi Ibrahim meminta keamanan kota Mekkah dari kerusakan yang menimpa harta dan jiwa, beliau melanjutkan doanya meminta keamanan kota Mekkah dari kerusakan yang menimpa agama, yaitu perbuatan syirik.

(2) Pada ayat di atas, Allah belum menjelaskan apakah doa Nabi Ibrahim tersebut dikabulkan Allah atau tidak? Maka jawabannya, sebagaimana di dalam (Asy-Syinqithi, Adhwau al-Bayan, 2/367) bahwa sebagian keturunannya bertauhid dan jauh dari perbuatan syirik, tetapi sebagian yang lain terjerumus ke dalam perbuatan syirik, sebagaimana di dalam firman-Nya,

 وَبَارَكْنَا عَلَيْهِ وَعَلَى إِسْحَاقَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِمَا مُحْسِنٌ وَظَالِمٌ لِنَفْسِهِ مُبِينٌ

“Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan diantara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang Zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata.” (Qs. ash-Shaffat: 113)

Ini dikuatkan dengan firman-Nya,

وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Dan (lbrahim a. s.) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (Qs. az-Zukhruf: 28)

(3) Adapun al-Baghawi di dalam Ma’alim at-Tanzil (3/42) berpendapat bahwa doa nabi Ibrahim di atas dikabulkan oleh Allah dengan bukti bahwa semua anak kandungnya tidak ada satupun yang menyembah berhala.  Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa doa tersebut hanya ditujukan untuk anak-anak dan keturunannya yang beriman saja.

(4) Rasa aman yang akan didapatkan oleh penduduk sebuah negeri harus melalui sebuah proses, yaitu menyembah Allah secara sungguh-sungguh dan tidak mensyirikan-Nya dengan sesuatu apapun juga. Di antara dalilnya adalah firman Allah,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

 “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. al-A’raf: 96)

Ayat di atas menunjukkan bahwa keberkahan langit dan bumi berupa kesejahteraan ekonomi akan terwujud, jika suatu bangsa beriman dan bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Ini dikuatkan dengan firman-Nya,

لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ (1) إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ (2) فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ (3) الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ (4

“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (Qs. Quraisy:1-4)

Ayat di atas menunjukkan bahwa kesejahteraan ekonomi dan keamanan terwujud setelah orang-orang Quraisy menyembah Allah.

(5) Salah satu bentuk tauhid adalah menjauhi penyembahan terhadap berhala-berhala. Pada zaman Nabi Ibrahim, berhala-berhala yang disembah selain Allah, berbentuk patung-patung yang terbuat dari kayu dan batu. Pada zaman sekarang, berhala-berhala itu berwujud penguasa-penguasa zhalim, jabatan, harta, dukun, popularitas. Allah berfirman,

 لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 256)

Juga dalam firman-Nya,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (Qs. an-Nahl: 36)

Juga di dalam firman-Nya,

وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَنْ يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ لَهُمُ الْبُشْرَى فَبَشِّرْ عِبَادِ

“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah-Nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku.” (Qs. az-Zumar: 17)

(6) Salah satu bentuk syirik adalah mentaati perintah para tokoh, pemimpin, ahli agama secara membabi-buta walau sangat bertentangan dengan isi al-Qur’an. Dahulu orang-orang Nasrani sangat taklid buta terhadap para pendeta, walaupun jelas mereka memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah. Dan ini dianggap salah satu bentuk kesyirikan, sebagaimana di dalam firman-Nya,

 اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Qs. at-Taubah: 31)

Al-Qurthubi di dalam tafsirnya berkata, “Mereka menjadikan orang-orang alim dan para rahib mereka seakan-akan sebagai tuhan karena mereka mentaati orang-orang tersebut dalam segala hal (walaupun bertentangan dengan ajaran Allah).”

Berkata Abdullah bin al-Mubarak menguatkan makna ayat di atas,

و هل أفسد الدين إلا الملوك و أحبار سوء ورهبانه

“Tidaklah yang merusak agama kecuali para raja dan para ulama suu’ dan ahli ibadah mereka.”

Diriwayatkan dari Hudzaifah tentang ayat di atas, “Apakah orang-orang Nasrani menyembah para pendeta mereka?” Maka beliau menjawab, “Tidak, mereka tidak menyembahnya. Tetapi ketika para pendeta tersebut menghalalkan yang haram, mereka mengikutinya. Sebaliknya, jika mereka mengharamkan yang halal, mereka pun mengikutinya.”

Hal yang serupa juga diriwayatkan dari ‘Adi bin Hatim ketika beliau mendatangi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang di lehernya terdapat salib emas. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Ini apa wahai Adi? Lempar berhala (yang ada pada lehermu).” Adi berkata, “Saya mendengar beliau membaca ayat di atas (Qs. at-Taubah: 31).” Kemudian beliau bersabda, “Memang mereka tidak menyembah para pendeta. Tetapi ketika para pendeta itu menghalalkan sesuatu, mereka ikut menghalalkannya. Dan sebaliknya, jika mereka mengharamkan sesuatu, mereka mengikutinya.” (HR. at-Tirmidzi)

(7) Pendidikan tauhid harus diajarkan kepada anak didik sejak dini dan orang tua harus mendoakan anak dan keturunan mereka agar dijauhkan dari perbuatan syirik. Berkata Ibnu Katsir di dalam Tafsir al-Qur’an al-’Adhim (4/213),” Setiap muslim yang berdoa, hendaknya berdoa untuk dirinya sendiri, kedua orangtuanya, dan keturunannya. “  

 Diantara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut,

(a) Firman Allah,

أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya". (Qs. al-Baqarah: 133)

Ayat di atas menunjukkan bahwa Nabi Ya’qub ‘alaihi as-salam mengajarkan anak-anaknya tauhid sejak dini, bahkan berwasiat kepada mereka sebelum meninggal dunia agar tidak menyembah kecuali kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

(b) Firman Allah,

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar." (Qs. Luqman: 13)

Hikmah (): Syirik Menyesatkan Banyak Manusia

 رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ

“Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia.”

(1) Ayat di atas menunjukkan bahwa kesesatan yang menimpa kebanyakan manusia berasal dari perbuatan syirik. Kesyirikan ini muncul sejak zaman Nabi Nuh ‘alaihi as-salam ketika kaumnya membuat patung-patung orang-orang shalih yang tujuan awalnya untuk mengingatkan mereka akan akhirat. Tetapi lambat laun setelah generasi berganti, akhirnya mereka menyembah patung-patung orang shalih tersebut. Ini digambarkan dalam firman-Nya,

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا (23) وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا ضَلَالًا (24)

“Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr. Dan sesudahnya mereka menyesatkan kebanyakan (manusia); dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.” (Qs. Nuh: 23-24)

Berkata Ibnu Katsir, “Nama-nama yang tersebut di atas (Wadda, Suwa’, Yaghuts, Yauq, Nasra) adalah nama-nama berhala yang mereka sembah selain Allah.”

(2) Kemudian pada zaman Nabi Ibrahim ‘alaihi as-salam, kebanyakan masyarakatnya tenggelam dalam kesyirikan. Bahkan orang tuanya Nabi Ibrahim sendiri adalah penyembah sekaligus pembuat patung-patung. Dialog antara Nabi Ibrahim dengan kaumnya, diabadikan secara apik di dalam firman Allah Qs. al-An’am: 74-82. Ini dikuatkan dengan dialog Nabi Ibrahim dengan Raja Namrud yang berakhir dengan dibakarnya Nabi Ibrahim dan diselamatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Ini terekam di dalam firman-Nya Qs. al-Anbiya’: 51-71.

(3) Kemudian dilanjutkan pada zaman Nabi Musa ‘alaihi as-salam, dimana kaumnya terpengaruh dengan para penyembah berhala. Sebagaimana yang terdapat di dalam firman Allah,

وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ

“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: "Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)." Musa menjawab: "Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)."” (Qs. al-A’raf: 138)

Ini dikuatkan dalam firman Allah,

فَأَخْرَجَ لَهُمْ عِجْلًا جَسَدًا لَهُ خُوَارٌ فَقَالُوا هَذَا إِلَهُكُمْ وَإِلَهُ مُوسَى فَنَسِيَ

“Kemudian Samiri mengeluarkan untuk mereka (dari lubang itu) anak lembu yang bertubuh dan bersuara, maka mereka berkata: "Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi Musa telah lupa".” (Qs. Thaha: 88)

(4) Orang-orang jahiliyah pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka adalah para penyembah berhala yang meyakini di dalam berhala ada kekuatan ghaib. Sebagian dari mereka beralasan bahwa berhala-berhala tersebut sebagai penyambung ibadah mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ini sesuai dengan firman-Nya,

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (Qs. az-Zumar: 3)

(5) Sampai sekarang, masih banyak masyarakat yang mempercayai takhayul dan khurafat. Mereka memberikan makanan sesajen di tempat-tempat yang mereka anggap angker dan keramat, seperti di bawah pohon besar, di pertigaan, di puncak-puncak gunung, di pekuburan, di sungai-sungai, bahkan sampai di lautan lepas. Mereka meyakini bahwa tempat-tempat tersebut dihuni oleh para dewa,  jin dan makhluk sejenisnya.

Hikmah (): Mengikuti Petunjuk Nabi adalah Jalan Keluar

فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

 “Maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

(1) Tugas para rasul termasuk Nabi Ibrahim adalah mengajak umatnya mengikuti petunjuk yang dibawa dari Allah subhanahu wa ta’ala dan mengarahkan umatnya meniti jalan yang lurus, sehingga mereka hidup bahagia di dunia dan masuk surga di akhirat.

  1. (2) Selain itu, para rasul menginginkan  umatnya agar mendapatkan ampunan dari Allah atas segala dosa mereka. Setiap nabi mempunyai sifat kasih sayang yang sangat besar kepada umatnya, walaupun mereka mendustakannya,   nabi itu tetap mengharapkan mereka bisa menemukan jalan kebenaran. Diantaranya;

(a) Nabi Ibrahim ‘alaihi as-salam pada ayat ini,

 وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

(b) Nabi Nuh ’alaihi as-salam sebagaimana dalam firman-Nya,

 فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا

“Maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.” (Qs. Nuh: 10)

(c) Nabi Syu’aib ‘alaihi as-salam,

 وَاسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي رَحِيمٌ وَدُودٌ

“Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.” (Qs. Hud: 90)

(d) Nabi Isa ‘alaihi as-salam juga mempunyai kasih sayang yang sama kepada umatnya, sebagaimana dalam firman Allah,

إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. al-Ma’idah: 118)

Dan para nabi lainnya, sebagai berikut:

(e) Nabi Adam di dalam Qs. al-A’raf: 23,

(f) Nabi Ibrahim di dalam Qs. asy-Syu’ara: 82, Qs. Ibrahim: 41, Qs. al-Mumtahanah: 5,

(g) Nabi Hud di dalam Qs. Hud: 52,

(h) Nabi Nuh di dalam Qs. Hud: 47, Qs. Nuh: 28,

(i) Nabi Shaleh di dalam Qs. Hud: 61,

(j) Nabi Ya’qub di dalam Qs. Yusuf: 98,

(k) Nabi Yunus di dalam Qs. al-Anbiya: 87,

(l) Nabi Musa di dalam Qs. al-Qashash: 16,

(m) Nabi Daud di dalam Qs. Shad: 24,

(n) Nabi Sulaiman di dalam Qs. Shad: 35,

(3) Al Baghawi di dalam Ma’alim at-Tanzil (3/42) menjelaskan bahwa maksud ayat di atas, bahwa barangsiapa yang bermaksiat kepadaku kemudian dia bertaubat maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Bisa juga diartikan, bahwa barangsiapa yang berbuat dosa selain syirik maka Allah akan mengampuni dosanya.  Ibnu al-Jauzi di dalam Zadu al-Masir (4/32), mengatakan ada yang berpendapat bahwa maksudnya adalah barangsiapa yang bermaksiat dan kafir, semoga Allah memberikan hidayah kepadanya agar kembali bertauhid. Juga ada yang berpendapat bahwa Nabi Ibrahim berdoa seperti itu ketika belum diberitahu oleh Allah bahwa dosa syirik tidak diampuni oleh Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana beliau pernah berdoa meminta ampun untuk bapaknya yang musyrik sebelum diberitahu bahwa hal itu tidak boleh.

(4) Yang menarik dalam hal ini adalah apa yang disampaikan Asy-Syenqithi di dalam Adhwau al-Bayan (2/368) bahwa nabi Ibrahim dan Nabi Isa menyerahkan orang-orang yang belum mau mengikuti dakwah mereka berdua kepada masyiatullah (kehendak Allah), jika berkehendak, maka Allah akan mengampuni mereka, sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas.

Tetapi berbeda dengan Nabi Nuh, beliau sangat keras dan tegas kepada kaumnya, beliau mendoakan kehancuran bagi mereka, sebagaimana di dalam firman-Nya,  

وَقَالَ نُوحٌ رَبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا (26) إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبَادَكَ وَلَا يَلِدُوا إِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا (27

 

Nuh berkata: "Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat ma'siat lagi sangat kafir.(Qs. Nuh: 26-27)

Begitu juga apa yang disampaikan oleh Nabi Musa ketika mendoakan kehancuran Fir’aun dan balatentaranya, sebagaimana di dalam firman-Nya,

وَقَالَ مُوسَى رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ

“Musa berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan Kami -akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.” (Qs. Yunus: 88)

Bagaimana menjelaskan dua sikap yang berbeda dari para nabi tersebut terhadap ? Maka jawabannya bahwa Nabi Nuh dan Nabi Musa tidaklah mendoakan kehancuran kaumnya kecuali mereka berdua sudah mengetahui dari Allah bahwa mereka tidak akan beriman selamanya. Untuk kaum Nabi Nuh tersebut di dalam firman-Nya,

 وَأُوحِيَ إلى نُوحٍ أَنَّهُ لَن يُؤْمِنَ مِن قَوْمِكَ إِلاَّ مَن قَدْ آمَنَ

Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan. (Qs. Hud: 36)

Untuk Fir’aun, Allah berfirman,

وَقَالُوا مَهْمَا تَأْتِنَا بِهِ مِنْ آيَةٍ لِتَسْحَرَنَا بِهَا فَمَا نَحْنُ لَكَ بِمُؤْمِنِينَ

“Mereka berkata: "Bagaimanapun kamu mendatangkan keterangan kepada kami untuk menyihir kami dengan keterangan itu, maka kami sekali-kali tidak akan beriman kepadamu.”  (Qs. al-A’raf: 132)

 

***

KARYA TULIS