Bab 6 Doa Nabi Yunus
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim. Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.”
(Qs. al-Anbiya’: 87-88)
Hikmah (): Nabi adalah Seorang Manusia
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah.”
(1) Bahwa para nabi berasal dari manusia, yang kadang berbuat salah atau lupa, maka Allah langsung menegurnya supaya kesalahan tersebut tidak berlangsung lama. Begitu juga yang dilakukan oleh nabi Yunus ‘alahi as-salam ketika beliau meninggalkan kewajiban berdakwah setelah kaumnya yang tinggal Ninawa salah satu tempat di al-Mausil, Iraq, mendustakannya, maka Allah menegurnya dengan melemparnya ke dalam perut ikan Paus. Berkata Ibnu ‘Athiah di dalam al-Muharrar al-Wajiz (4/468), disebut Dza an-Nun, karena Nabi Yunus masuk ke dalam perut ikan Paus. Dza adalah pemilik atau pelaku dalam hal ini adalah Nabi Yunus, an-Nun adalah ikan Paus.
(2) Begitu juga yang dialami oleh Nabi Adam ‘alaihi as-salam ketika memakan buah terlarang sehingga beliau diturunkan dari surga. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah ditegur oleh Allah dalam surat ‘Abasa.
(3) Ibnu ‘Athiah juga menjelaskan arti (مغاضباً) pada ayat di atas, bahwa Nabi Yunus sangat marah kepada kaumnya karena sudah lama beliau mendakwahi mereka tetapi tetap saja tidak mau mengikuti ajakan beliau. Kemudian beliau pergi meninggalkan kaumnya, padahal Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi Yunus tetap tinggal dan bersabar dalam menghadapi kaumnya. Inilah dosa yang dilakukan oleh Nabi Yunus, sehingga dimasukkan ke dalam ikan Paus. Diriwayatkan bahwa Nabi Yunus adalah seorang pemuda yang belum terbiasa menghadapi tantangan kenabian, maka beliau meninggalkan tugas dakwah dan belum bisa bersabar. Oleh karenanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang untuk mengikuti jejak perbuatan Nabi Yunus, sebagaimana firman-Nya,
فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تَكُنْ كَصَاحِبِ الْحُوتِ إِذْ نَادَى وَهُوَ مَكْظُومٌ
“Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya).” (Qs. al-Qalam: 48)
(4) Ath-Thabari di dalam Jami’ al-Bayan (18/511-512) menjelaskan perbedaan ulama di dalam menafsirkan kata (مغاضباً) yang artinya ‘marah’. Nabi Yunus marah kepada siapa? Kepada kaumnya atau kepada Allah?
(a) Pendapat Pertama, Nabi Yunus pergi meninggalkan kaumnya dan marah kepada mereka karena mereka menolak dakwahnya. Ini riwayat dari Ibnu ‘Abbas dan adh-Dhahak.
(b) Pendapat Kedua, Nabi Yunus meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah (kecewa) kepada Tuhannya. Karena di awal sudah dijanjikan bahwa Allah akan menurunkan adzab kepada kaumnya pada hari yang sudah ditentukan, dan beliau sudah memberitahukan itu kepada kaumnya. Ketika Nabi Yunus pergi dan menunggu turunnya adzab, ternyata adzab itu tidak jadi turun kepada kaumnya, dikarenakan mereka bertaubat. Sehingga Nabi Yunus menjadi malu kepada kaumnya dan kecewa kepada Tuhannya. Sebagian mengatakan bahwa kebiasaan kaumnya jika ada seseorang yang berbuat bohong maka hukumannya adalah dibunuh, oleh karenanya Nabi Yunus tidak kembali lagi kepada kaumnya. Pendapat kedua ini riwayat dari Sa’id bin Zubair, dari Ibnu ‘Abbas; dan juga pendapat asy-Sya’bi.
(c) Pendapat Ketiga, bahwa Nabi Yunus marah kepada Tuhannya karena beliau diperintahkan untuk mendatangi suatu kaum dan memperingatkan akan adzab-Nya, tetapi ketika beliau meminta waktu untuk melakukan persiapan, Allah tidak memberikan izin walau hanya untuk memakai baju dan sandalnya. Maka beliau marah (kecewa) kepada Tuhannya. Ini riwayat dari al-Hasan al-Basri.
Kesimpulan: dari ketiga pendapat di atas, pendapat pertama-lah yang paling kuat. Adapun pendapat kedua dan ketiga adalah pendapat yang lemah dan tidak layak disematkan kepada seorang nabi, sebagaimana disampaikan oleh ath-Thabari dan Ibnu ‘Athiah.
Hikmah (): Maksiat Membawa Malapetaka
فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ
“Lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya).”
(1) Kebanyakan manusia mengira bahwa kemaksiatan yang mereka lakukan tidaklah berdampak buruk bagi kehidupan mereka. Padahal musibah-musibah yang menimpa manusia kebanyakan disebabkan oleh maksiat yang mereka perbuat. Sebaliknya, ketakwaan dan ketaatan akan membawa kepada keberkahan di dalam hidup seseorang. Diantara dalil-dalilnya adalah;
(a) Allah berfirman,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. al-A’raf: 96)
(b) Hal ini dikuatkan oleh firman Allah,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ . كَدَأْبِ آلِ فِرْعَوْنَ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ فَأَهْلَكْنَاهُمْ بِذُنُوبِهِمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَكُلٌّ كَانُوا ظَالِمِينَ
“(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya maka Kami membinasakan mereka disebabkan dosa-dosanya dan Kami tenggelamkan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya; dan kesemuanya adalah orang-orang yang zhalim.” (Qs. al-Anfal: 53-54)
(c) Dikuatkan juga di dalam firman Allah,
وَقَارُونَ وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مُوسَى بِالْبَيِّنَاتِ فَاسْتَكْبَرُوا فِي الْأَرْضِ وَمَا كَانُوا سَابِقِينَ فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
“Dan (juga) Karun, Fir'aun dan Haman. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu). Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Qs. al-’Ankabut: 39-40)
(2) Al-Biqai di dalam Nuzhum ad-Durar (5/321), menjelaskan maksud dari (فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ) adalah;
(a) ‘Nabi Yunus menyangka bahwa Kami (Allah) tidak akan menghukum atas perbuatannya tersebut’.
(b) Sebagian berpendapat bahwa artinya adalah ‘Nabi Yunus menyangka Kami tidak mempersempitnya’, karena arti (Naqdira) berasal dari (al-Qadar) adalah sempit, bukan dari (al-Qudrah), sebagaimana firman-Nya (فقدر عليه رزقه) (Qs. al-Fajr: 16)
(c) Sebagian berpendapat bahwa maksudnya ‘Nabi Yunus mengira Tuhannya tidak bisa menghukumnya.’
(d) Sebagian berpendapat bahwa ini berupa pertanyaan yang artinya ‘Apakah dia (Yunus) mengira bahwa Kami (Allah) tidak menghukumnya?’
Hikmah (): Berdoa di dalam Kegelapan
فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ
“Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap.”
(1) Allah telah mengajarkan kepada kita bagaimana Nabi Yunus ‘alaihi as-salam berdoa ketika ditimpa musibah dan ujian yang bertubi-tubi. Sehingga Allah menyebutkannya dengan (الظُّلُمَاتِ) di dalam kegelapan yang berlapis-lapis.
Berkata Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa Nabi Yunus berada dalam tiga kegelapan, yaitu kegelapan perut ikan Paus, kegelapan lautan, dan kegelapan malam. (Ath-Thabari, 18/516; Ibnu Katsir, 5/367; Ibnu ‘Athiah, 4/469)
Ath-Thabari tidak memilih satupun dari perbedaan pendapat di dalam menafsirkan kata (الظُّلُمَاتِ) pada ayat di atas. Tetapi lebih memilih hal itu diserahkan pada apa yang tertera dalam al-Qur’an saja (menafsirkan secara tekstual).
(2) Do’a Nabi Yunus ‘alaihis salam di atas mengandung tiga unsur pokok, yaitu:
(a) Unsur pertama, mengucapkan: أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ (Tiada Ilah yang Berhak Disembah kecuali Engkau)
Mengikrarkan kembali tauhid kepada Allah, yaitu bahwa seorang hamba yang ingin berdoa kepada Allah hendaknya memperbaiki hubungannya dengan Allah dengan mentauhidkan dalam ibadah serta meninggalkan syirik. Ini terdapat di dalam surat al-Fatihah juga dengan firman-Nya,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ.
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (Qs. al-Fatihah: 5)
(b) Unsur kedua, mengucapkan: سُبْحَانَكَ
(Maha Suci Engkau)
Oleh karena itu, posisi yang paling dekat dengan Allah adalah ketika kita sedang bersujud di hadapan Allah pada waktu shalat. Sebagaimana di dalam hadist Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
“Posisi yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabb-nya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah do’a di dalamnya.” (HR. Muslim)
Di saat kepala dan dahi kita yang kita anggap sebagai anggota tubuh yang paling mulia ini, kita letakkan di atas tanah yang hina, tanah yang setiap hari kita injak-injak, maka saat itulah kita menyebut kebesaran dan ketinggian Allah dengan mengucapkan: “Subhana Rabbiya al-A’la” (Maha Suci Rabb-Ku Yang Maha Tinggi), sebagaimana di dalam hadist Hudzaifah radhiyallahu 'anhu,
أنَّهُ صَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَكَانَ يَقُولُ فِي رُكُوعِهِ : " سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ . وَفِي سُجُودِهِ : سُبْحَانَ رَبِّيَ الأَعْلَى "
“Bahwasanya beliau shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika ruku’ beliau membaca: “Subhana Rabbiya al-Azhim”, dan ketika sujud, beliau membaca: “Subhana Rabbiya al-A’la”. (Hadist Shahih lighairihi Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah)
(c) Unsur ketiga, mengucapkan:
إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim.”
(3) Ibnu ‘Athiah di dalam al-Muharrar al-Wajiz (4/469) menerangkan maksud dari pengakuan Nabi Yunus bahwa dirinya termasuk orang-orang zhalim yaitu ketika menyelisihi perintah untuk tetap bersabar dalam berdakwah dan tinggal bersama kaumnya. Setelah pengakuan tersebut, Allah mengabulkan doanya dan menyelamatkan Nabi Yunus ke tepi pantai.
(4) Ath-Thabari (18/518) menyebutkan riwayat dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan bahwa ketika Allah ingin memenjarakan Nabi Yunus di dalam perut ikan Paus, Allah memberikan wahyu kepada ikan Paus, “Telanlah dia jangan makan sedikitpun dari dagingnya dan jangan mematahkan tulangnya.” Kemudian ikan Paus tersebut menelan Nabi Yunus dan dibawanya ke tempat tinggalnya di bawah laut. Ketika sampai tempat tersebut, Nabi Yunus mendengar sesuatu. Beliau bertanya dalam hatinya, “Apa ini?” Maka Allah memberikan wahyu kepadanya, sedangkan beliau masih berada di dalam ikan Paus. Ini adalah tasbihnya makhluk laut, maka Nabi Yunus bertasbih (berdoa) dan malaikat mendengar doanya. Mereka bertanya, “Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar suara yang sangat lirih di sebuah tempat yang sangat jauh.” Maka Allah berfirman, “Itu adalah doa hamba-Ku Yunus. Dia telah menyelisihi perintahku, maka Aku tahan di perut ikan Paus di dalam lautan.” Berkata malaikat, “Apakah dia hamba shalih yang setiap hari dan malam amal shalihnya sampai kepada-Mu?” Allah berfirman, “Iya.” Maka kemudian malaikat memberi syafa’at kepada Allah untuk Nabi Yunus. Dan Allah memerintahkan Ikan Paus untuk memuntahkan Nabi Yunus di pantai. (Berkata al-Haitsami di dalam Majma’ az-Zawaid)
(5) Hendaknya seorang hamba dalam berdoa merasa bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah, tidak berdaya, tidak mempunyai kekuatan, selalu membutuhkan pertolongan Allah di dalam kehidupan ini. Inilah hakekat ibadah, yaitu ketundukan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala, semakin kita menampakkan ketundukan kita di hadapan Allah, maka semakin kita dekat dengan Allah subhanahu wa ta’ala.
- (6) Dikisahkan pada zaman dahulu bahwa seseorang datang kepada salah seorang ulama besar seraya menanyakan penyebab tidak dikabulkan doanya oleh Allah, padahal dia sudah berdoa selama 40 tahun lamanya, maka ulama tersebut berkata, “Barangkali anda selama ini ketika berdoa tidak pernah mengakui dosa-dosa anda.”
(7) Al-Biqa’i (5/321) menukil perkataan ar-Razi di dalam al-Lawami’, “ Disyaratkan bagi setiap yang ingin berdoa kepada Allah, untuk memulai dengan Tauhid, kemudian bertasbih dan memuji Allah, kemudian pengakuan terhadap dosa, beristighfar dan meminta udzur. Ini adalah syarat pada setiap doa.”
(8) Doa Nabi Yunus ini serupa dengan doa para nabi lainnya, seperti doa Nabi Adam ‘alaihi as-salam,
قَالا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi". (Qs. al-A`raf: 23)
Ini juga merupakan doa Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang tersebut di dalam hadist di bawah ini,
وَعَنْ أَبِي بَكْرٍ اَلصِّدِّيقِ رضي الله عنه أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِي . قَالَ قُلْ : " اَللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا , وَلَا يَغْفِرُ اَلذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ , فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ , وَارْحَمْنِي , إِنَّكَ أَنْتَ اَلْغَفُورُ اَلرَّحِيمُ
“Dari Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu bahwa dia berkata kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam: Ajarkanlah padaku doa yang aku baca dalam shalatku. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ucapkanlah, “Ya Allah sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dan tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu dan kasihanilah diriku sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hikmah() Teladan bagi orang yang beriman.
Allah berfirman,
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ
“Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (Qs. al-Anbiya’: 88)
(1) Para ulama menjelaskan bahwa doa Nabi Yunus ini bisa dibaca di saat kita tertimpa musibah dan bencana, mudah-mudahan dengan doa tersebut Allah akan menolongnya sebagaimana sebelumnya telah menolong Nabi Yunus.
Berkata Syeikh Abdurrahman As-Sa’di di dalam Taisir al-Karim ar-Rahman (1/529),
“Ayat ini merupakan janji dan berita gembira bagi setiap orang beriman yang tertimpa musibah dan kesulitan, sesungguhnya Allah akan menyelamatkannya dan mengangkat kesulitannya dan meringankan bebannya karena keimanannya kepada Allah, sebagaimana yang dilakukan terhadap nabi Yunus.”
Demikianlah Allah menolong orang-orang beriman, artinya Allah tidak serta-merta menolong orang beriman tanpa melalui sunnatullah yang telah ditetapkan Allah. Tetapi Allah menolong hamba-Nya dengan cara-cara yang telah ditetapkannya, yaitu hamba tersebut beristighfar, bertauhid dan selalu memuji-Nya serta mengakui kesalahan-kesalahannya, setelah itu akan datang pertolongan Allah.
(2) Al-Biqa’i di dalam Nuzhum ad-Durar (5/321) menjelaskan ayat di atas yang isinya secara ringkas sebagai berikut; setelah menyelamatkan Nabi Yunus dari perut Ikan Paus, Allah memberitakan bahwa penyelamatan tersebut adalah salah satu bentuk pertolongan Allah yang luar biasa dan nikmat besar yang harus disyukuri. Sekaligus menjadi isyarat akan kekuasaan Allah terhadap hal-hal yang serupa. Pertolongan Allah kepada Nabi Yunus ini juga berlaku semua pengikut para nabi (orang beriman).
***
-
Tanya Jawab Aktual Tentang Shalat
Lihat isinya
Tanya Jawab Aktual Tentang Puasa
Lihat isinya » -
Jilbab Menurut Syari'at Islam (Meluruskan Pandangan Prof. DR. Quraish)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Pernikahan (Edisi I)
Lihat isinya » -
Halal dan Haram Dalam Pengobatan (Edisi I)
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Transaksi Keuangan (edisi 1)
Lihat isinya » -
Nasionalisme
Lihat isinya
Panduan Haji dan Umrah
Lihat isinya » -
Mukjizat Al Qur'an Dalam Kesehatan
Lihat isinya
Berobatlah Dengan Yang Halal (edisi 2 Halal Haram Pengobatan)
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Menghitung Zakat
Lihat isinya
Halal dan Haram Dalam Makanan
Lihat isinya » -
Waktumu Adalah Hidupmu, Managemen Waktu dalam Islam
Lihat isinya
Satu Jam Bersama Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Jual Beli Terlarang
Lihat isinya
Kekuatan Istighfar
Lihat isinya » -
Panduan Praktis Berqurban
Lihat isinya
Al-Quran dan Kesetaraan Gender
Lihat isinya » -
Banyak Jalan Menuju Surga
Lihat isinya
Meniti Tangga-Tangga Kesuksesan
Lihat isinya » -
Fiqih Ta'ziyah
Lihat isinya
Mengenal Ahlus Sunnah wal Jamaah
Lihat isinya » -
Fiqih Wanita Kontemporer
Lihat isinya
Menang Tanpa Perang
Lihat isinya » -
Masuk Surga Bersama Keluarga
Lihat isinya
Mengetuk Pintu Langit
Lihat isinya » -
Membangun Negara dengan Tauhid
Lihat isinya
Fiqih Masjid (Membahas 53 Hukum Masjid)
Lihat isinya » -
Membuka Pintu Langit
Lihat isinya
Kesabaran yang Indah
Lihat isinya » -
Menembus Pintu Langit
Lihat isinya
Pensucian Jiwa
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah: Al-Fatihah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 1: Orang-Orang Munafik dalam Al-Qur'an
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 2: Kisah Nabi Adam dan Iblis
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 3: Kisah Bani Israel
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 4: Nabi Sulaiman dan Kaum Yahudi
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 5: Umat Pertengahan
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 6: Hukum-hukum Seputar Ibadah
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 7: Hukum-hukum Pernikahan & Perceraian
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 8: Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 9: Agama di Sisi Allah, Islam
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 10: Keluarga Imran
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 11: Sebaik-baik Umat
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 12: Empat Sifat Muttaqin
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Seri 13: Dzikir dan Fikir
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Seri 14: Membina Generasi Tangguh
Lihat isinya
Tafsir An-Najah Juz 5: Qs. 4: 24-147
Lihat isinya » -
Tafsir An-Najah Juz 6: Qs. 4: 148-176 & Qs. 5: 1-81
Lihat isinya
Lihat isinya »