Karya Tulis
952 Hits

Bab 8 Doa Ashabul Kahfi


إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

“(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sediakan untuk kami petunjuk yang benar dalam segala urusan".

(Qs. al-Kahfi: 10)

 

Hikmah (1): Mencari Perlindungan

إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ

(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua.

(1) Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa para pemuda tersentuh oleh dakwah yang disampaikan pengikut Nabi Isa ‘alaihi as-salam. Mereka terdiri dari berbagai kalangan, seperti pejabat, tentara kerajaan, pengusaha dan rakyat jelata. Pada awalnya, mereka menyembunyikan keimanan di tengah-tengah para penyembah berhala. Kemudian mereka menampakkan keimanan mereka sehingga Raja Dikyanus menangkap dan memenjarakan mereka.

Dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala, mereka berhasil lolos dari penjara dan melarikan diri untuk mencari tempat yang aman. Kemudian Allah mengarahkan mereka untuk masuk ke dalam gua yang berada di perbukitan. Al-Qasimi (w. 1332 H) menjelaskan di dalam Mahasin at-Ta’wil (7/7) bahwa mereka lari ke gua dari kekejaman Raja, karena mereka telah menampakkan secara terang-terangan keimanan mereka kepada Allah dan tidak mau menyembah berhala.

Dalam suasana ketakutan, mereka akhirnya masuk ke dalam gua yang gelap dan lembab. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Dalam keadaan seperti itu, mereka berdoa memohon pertolongan dan rahmat dari Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka yakin tidak ada yang bisa menolong mereka kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Dia lah satu-satunya tempat perlindungan dari segala macam marabahaya.

Hikmah (2): Para Pemuda yang Beriman

إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ

(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua.

(Al-Fityatu) artinya sekelompok orang yang baru beranjak dewasa dan mempunyai jiwa dan postur tubuh yang kuat. Biasanya disebut dengan para pemuda.

Allah subhanahu wa ta’ala secara sengaja menyebut pemuda pada ayat ini untuk menjelaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang berpotensi untuk menjadi pembela kebenaran dan pengawal orang-orang beriman. Mereka mempunyai kemauan kuat dan kekuatan fisik di atas rata-rata. Ini dikuatkan dengan firman Allah,

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى (13) وَرَبَطْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَهًا لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا (14(

“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. Dan Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran." (Qs. al-Kahfi: 13-14)

Pada ayat di atas, Allah menceritakan tentang pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, kemudian Allah teguhkan pendirian mereka ketika berhadapan dengan penguasa kafir. Mereka berani mengucapkan kebenaran bahwa ‘Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah’ walaupun menghadapi resiko kematian.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merekrut dan mendakwahi para pemuda untuk menjadi pengikut dan pembela setianya, memperjuangkan tegaknya Risalah Islam, serta menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia. Diantara para pemuda tersebut adalah ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin ‘Umar, Abdullah bin ‘Amru, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Usamah bin Zaid, Mu’adz bin Afra, Mu’awwidz bin Afra, dan lainnya.

Hikmah (3): Gua sebagai Tempat yang Aman

إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ

(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua.

Gua adalah tempat aman yang telah disediakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk perlindungan para hamba-Nya dari kejaran orang-orang kafir dan para penguasa zhalim.

Walaupun kelihatan gelap, lembab dan menakutkan, tetapi Allah jadikan terang, nyaman dan menenangkan. Ini tergambarkan di dalam firman Allah,

وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرْفَقًا

“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” (Qs. al-Kahfi: 16)

Allah memberikan dua hal kepada para pemuda al-Khafi; (1) menebarkan Rahmat-Nya kepada mereka, dan (2) menyediakan segala keperluan yang dibutuhkan oleh mereka selama di dalam persembunyiannya. Rahmat Allah merupakan simbol hubungan vertikal antara Allah dengan hamba-Nya (hablun minallah). Penyediaan segala keperluan, merupakan simbol hubungan horizontal sesama manusia (hablun minannas).

Sebagian bentuk rahmat Allah kepada mereka adalah sebagai berikut:

(1) Allah menjadikan matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri. Allah berfirman,

وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَتْ تَزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَتْ تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ

Maksudnya bahwa walaupun dalam gua, mereka tetap mendapatkan asupan sinar matahari yang mengandung vitamin D dan sangat dibutuhkan oleh tubuh. Sinar matahari ini juga berfungsi menjadi penghangat ruangan gua yang sangat lembab. Yang menarik, bahwa sinar matahari yang sangat menyengat tersebut, tidak langsung menimpa tubuh mereka, kecuali di sebelah kiri dan kanan mereka.

(2) Allah menjadikan gua yang mereka tempati atapnya tinggi dan luas (وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِنْهُ), sehingga sirkulasi udara berjalan dengan baik. Mereka tidak merasa sesak maupun gerah. Dari sinilah kita memahami kenapa masjid-masjid dibangun dengan kubah yang besar dan tinggi. Ternyata struktur bangunan kubah bermanfaat untuk kelancaran sirkulasi udara, sehingga para jama’ah di masjid tidak merasa kegerahan, persis seperti keadaan gua Ashabul Kahfi.

(3) Allah membolak-balikkan badan mereka pada waktu tidur ke arah kanan dan kiri. Allah berfirman,

وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ

Tujuannya agar mereka tidak dalam satu posisi ketika tidur selama 309 tahun. Karena kalau itu terjadi akan berakibat fatal, (1) kekuatan gravitasi bumi akan menyedot badan mereka dan ini bisa menyebabkan kematian, (2) peredaran darah dalam tubuh mereka akan terganggu, dan ini juga akan menyebabkan badan kaku, tidak bisa digerakkan.

Tiga bentuk rahmat Allah di atas termaktub di dalam firman Allah Qs. al-Kahfi: 17-18.

Hikmah (): Memohon Rahmat Allah dalam Menghadapi Kesulitan

فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً

Lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu”

(1) Al-Qasimi (w. 1332 H) di dalam Mahasin at-Ta’wil (7/8) menafsirkan (رَحْمَةً) pada ayat di atas dengan ampunan, rezeki, dan rasa aman dari gangguan para musuh.

(2) Dalam keadaan kesulitan dan rasa takut yang begitu mencekam, para pemuda memohon rahmat dan kasih sayang Allah, karena hanya dengan rahmat-Nya, manusia akan terhindar dari segala marabahaya. Dan hanya dengan rahmat-Nya, manusia tidak akan merugi di dalam kehidupan dunia ini. Allah berfirman,

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Qs. al-A’raf: 23)

Nabi Adam memahami bahwa kesuksesan dan kemenangan itu dengan mendapatkan ampunan dan rahmat-Nya. Sebaliknya, kerugian dan kesengsaraan jika jauh dari ampunan dan rahmat-Nya.

(3) Ini dikuatkan dengan firman Allah,

إِنَّهُ كَانَ فَرِيقٌ مِنْ عِبَادِي يَقُولُونَ رَبَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ

“Sesungguhnya, ada segolongan dari hamba-hamba-Ku berdoa (di dunia): "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling Baik.” (Qs. al-Mu’minun: 109)

Doa pada ayat di atas menurut Mujahid sebagaimana yang disebutkan oleh al-Qurthubi di dalam al-Jami li Ahkami al-Qur’an (12/138) adalah doa yang diucapkan oleh para sahabat dari golongan lemah. Diantara mereka adalah Bilal bin Rabah, Khabab bin al-Arat, dan Shuhaib bin Sinan ar-Rumi.

(4) Ini juga dikuatkan di dalam firman-Nya,

وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ

“Dan katakanlah: "Ya Tuhanku berilah ampun dan berilah rahmat, dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling baik".” (Qs. al-Mu’minun: 118)

Berkata Ibnu Katsir di dalam Tafsir al-Qur’an al-’Azhim (5/502), “Ar-Rahmah pada ayat di atas artinya semoga Allah meluruskan dan memberikan taufik kepada seluruh perkataan dan perbuatan.”

Berkata al-Alusi di dalam Ruhu al-Ma’ani (13/305), “Doa ini disebut secara khusus oleh Allah (di dalam ayat ini) menunjukkan betapa pentingnya doa tersebut. Dan ini pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakar ash-Shiddiq.”

Doa yang dimaksud adalah apa yang tersebut di dalam hadits Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu,

وَعَنْ أَبِي بَكْرٍ اَلصِّدِّيقِ رضي الله عنه أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِي . قَالَ قُلْ : " اَللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا , وَلَا يَغْفِرُ اَلذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ , فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ , وَارْحَمْنِي , إِنَّكَ أَنْتَ اَلْغَفُورُ اَلرَّحِيمُ

“Dari Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu bahwa dia berkata kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, “Ajarkanlah padaku doa yang aku baca dalam shalatku.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ucapkanlah: ‘Ya Allah sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dan tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu dan kasihanilah diriku sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ قَرَأَ فِي أُذُنِ مُبْتَلًى، فَأَفَاقَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: " مَا قَرَأْتَ فِي أُذُنِهِ؟ " قَالَ: قَرَأَتُ: (أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا)، حَتَّى فَرَغَ آخِرُ السُّورَةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: " لَوْ أَنَّ رَجُلًا مُوقِنًا قَرَأَ بِهَا عَلَى جَبَلٍ لَزَالَ

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya suatu ketika beliau membacakan sesuatu di dekat telingan orang yang sedang sakit kemudian orang tersebut sembuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada ‘Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang kamu baca di telinganya?” Beliau menjawab, “Aku membaca (Afahasibtum annama khalaqnakum abatsa…) Qs. al-Mu’minun: 115-118.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya seseorang membacanya dengan penuh keyakinan di depan di gunung, niscaya akan hancur lebur.” (HR. Abu Ya’la. Berkata al-Haitsami di dalam Majmau az-Zawaid (5/115), “Di dalamnya terdapat Ibnu Lahi’ah, dia adalah dha’if. Padahal haditsnya hasan. Adapun sisa perawinya adalah perawi yang yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.”)

(5) Di dalam doa ketika tertimpa bencana disebutkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعَوَاتُ الْمَكْرُوبِ: اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ  

“Doa-doa ketika terkena bencana dan musibah, ‘Wahai Allah, hanya rahmat-Mu yang aku harapkan, maka janganlah Engkau menyerahkan aku kepada diriku sendiri meski hanya sekejap mata dan perbaikilah seluruh urusanku. Tiada Ilah Yang berhak disembah selain Engkau.” (HR. Ahmad dan Abu Daud. Hadist ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’ 3388)

Di dalam doa di atas disebutkan bahwa rahmat Allah satu-satunya harapan di saat bencana menimpa seseorang. Rahmat Allah merupakan solusi dari segala problematika hidup, bahkan dengan rahmat-Nya saja seluruh urusan akan menjadi baik.

Hikmah (): Memohon Kebaikan dalam Segala Urusan

وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

“Dan sediakan untuk kami petunjuk yang benar dalam segala urusan.

(1) Menurut Ibnu ‘Asyur (w. 1393 H) di dalam at-Tahrir wa at-Tanwir (15/267) terdapat perbedaan sedikit antara lafazh ar-Rasyadu (الرَّشَدُ) dengan ar-Rusydu (الرُّشْدُ). Adapun ar-Rasyadu seperti dalam ayat ini adalah kebaikan dan ketepatan dalam bertindak, manfaat serta perbaikan. Adapun ar-Rusydu dalam Qs. an-Nisa: 6, artinya mirip dengan di atas, tetapi lebih kepada kecakapan dalam mengatur keuangan.

(2) Sebagian menyimpulkan bahwa lafadz  ar-Rasyadu (الرَّشَدُ) dan pecahannya mempunyai tiga arti:

(a) Pertama, ar-Rasyadu (الرَّشَدُ) artinya baik, benar dan beres, atau kebaikan dan ketepatan dalam bertindak

Sebagian orang mengetahui sesuatu yang baik dan benar, tetapi tidak mampu mengerjakannya. Oleh karenanya, kita meminta pertolongan Allah untuk bisa melaksanakan kebaikan tersebut. Hal ini mirip dengan firman Allah,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (Qs. al-Fatihah: 5)

(b) Kedua, ar-Rasyidu (الرَّاشِدُ) artinya cinta kepada ketaatan dan benci kepada kemaksiatan. Allah berfirman,

وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ

“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (Qs. al-Hujurat: 7)

(c) Ketiga, ar-Rusydu (الرُّشْدُ) berarti juga jalan kebenaran lawan jalan kesesatan. Sebagaimana firman Allah,

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 256)

Hikmah ( ) Kandungan Doa Ashabu al-Kahfi

(1) Doa pertama (رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً) menggambarkan hubungan vertikal antara Allah dan hamba-Nya. Sedangkan dalam doa yang kedua (وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا) menunjukkan hubungan horizontal antara sesama manusia. Di dalam berdoa seseorang membutuhkan dua hubungan tersebut. Dia harus secara terus menerus mempererat hubungan dengan Allah, dengan mengikhlaskan amal dan mengharap ridha-Nya, mensucikan, memuji, mengagungkan serta mentauhidkan-Nya. Ini terwujud dengan empat doa yaitu: ‘Subhanallah, walhamdulillah, wa Laa ilaha Ilallah, wallahu Akbar.’

Begitu juga dia harus mempererat hubungan dengan sesama manusia untuk memperbaiki urusan dunia. Menyelesaikan segala problematika dan urusan dunia. Al-Qurthubi di dalam al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an (10/312) menyebutkan perkataan Ibnu ‘Abbas bahwa maksud doa ini adalah memohon kepada Allah agar mereka bisa keluar dari gua tersebut dengan selamat.

Ternyata jalan keluar yang Allah berikan adalah mereka ditidurkan selama 309 tahun sampai penguasa kafir yang mengejar mereka telah mati, dan diganti dengan penguasa yang beriman. Ketika bangun dari tidur panjang, dan keluar dari gua, mereka mendapatkan penguasa yang baik dan melindungi mereka.

Inilah buah dari doa Ashabul Kahfi yang sangat dahsyat. Hendaknya setiap muslim yang mempunyai problematika yang tidak kunjung selesai, untuk berdoa dengan doa ini. Semoga Allah memberikan jalan keluar baginya, sebagaimana Allah memberikan jalan keluar kepada Ashabul Kahfi.

(2) As-Sa’di (w. 1376 H) di dalam Taisir al-Karim ar-Rahman (1/471) menjelaskan bahwa doa Ashabul Kahfi di atas adalah doa yang menggabungkan antara usaha manusia (yang berupa lari dari kekejaman penguasa, kemudian mencari tempat persembunyian yang aman) dengan kepasrahan mereka kepada Allah tanpa tergantung kepada manusia. Oleh karenanya, Allah mengabulkan doa mereka dan memberikan jalan keluar dari arah yang tidak disangka.

Hikmah ( ): Hijrah dan ‘Uzlah

(1) Al-Qurthubi di dalam al-Jami’ Li Ahkami al-Qur’an (10/224) menjelaskan bahwa dalam kisah Ashabu al-Kahfi terdapat pelajaran tentang wajibnya menyelamatkan agama, walaupun harus meninggalkan keluarga, anak, kerabat, saudara, negara, serta harta karena ingin menghindari fitnah dan siksaan. Inilah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Bahkan beliau juga bersembunyi di dalam gua Tsur, untuk menyelamatkan agama dari rongrongan orang-orang kafir.

Oleh karenanya, tinggal di pegunungan dan gua-gua, serta ‘uzlah (mengisolasi diri) dari masyarakat untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhi para penguasa zhalim adalah sunnah dan kebiasaan para nabi dan wali Allah.

(2) Menurut para ulama, ‘uzlah (mengisolasi diri) dari masyarakat kadang bisa dilakukan dengan tinggal di pegunungan dan perbukitan, kadang bisa dilakukan dengan tinggal di tepi-tepi pantai yang sepi dan di daerah-daerah terpencil lainnya, kadang pula bisa dilakukan di rumah-rumah sendiri. Disebutkan di dalam sebuah riwayat,  

إذا كانت الفتنة فأخف مكانك وكف لسانك

“Jika terjadi fitnah, maka rahasiakan tempat tinggal anda, dan tahan bicara anda”

Riwayat di atas memerintahkan untuk merahasiakan tempat tinggal tanpa menentukan tempat tertentu. Artinya boleh di tinggal di mana saja, yang penting dirahasiakan dan jauh dari hiruk pikuk masyarakat.

Sebagian ulama berpendapat bahwa al-’uzlah dari fitnah dan keburukan masyarakat itu dengan hati dan amal shaleh, walaupun dia berada di tengah-tengah mereka. Inilah yang disebutkan Ibnu al-Mubarak di dalam mengartikan al-’uzlah, yaitu ‘Anda bersama masyarakat, jika mereka sibuk dengan dzikir dan mengingat Allah, maka ikutlah bersama mereka. Jika mereka sibuk dengan selain itu (maksiat), maka anda diam (jangan ikut mereka).’  

Kemudian Al-Qurthubi membuat kesimpulan dan menyatakan bahwa dalam masalah ini tergantung pada kondisi masing-masing;

(a) Kadang seseorang mampu dan kuat untuk tinggal di gua-gua di pegunungan, dan ini adalah sebaik-baik keadaan, karena Allah memilihkan jalan untuk nabi-Nya jalan seperti ini di awal-awal dakwahnya, seperti yang disebutkan juga oleh Allah di dalam (Qs.al-kahfi: 16).

(b) Kadang juga sebagian orang yang melakukan al-’uzlah dengan tetap tinggal di rumahnya sendiri. Ini lebih ringan dan mudah baginya. Dahulu ada sebagian sahabat Ahli Badar yang tetap tinggal di rumahnya ketika terjadi fitnah pembunuhan Ustman bin ‘Affan. Mereka tidak keluar rumah sampai meninggal dunia, demi menghindari fitnah dan perang saudara yang terjadi waktu itu.

(c) Ada sebagian orang yang keadaannya pertengahan antara dua keadaan di atas. Yaitu mereka yang bisa hidup  bercampur baur dengan masyarakat, dan sabar terhadap fitnah dan kejahatan mereka. Padahal secara batin, mereka tidak bersama dengan masyarakat tersebut, dan tidak setuju serta mengingkari maksiat-maksiat yang terjadi. Wahab bin Munabih pernah berkata,’ Tetaplah bersama masyarakat, seakan anda tuli padahal mendengar, seakan buta padahal melihat, seakan bisu padahal bisa bicara.

***

KARYA TULIS