Karya Tulis
818 Hits

Pensucian Jiwa: Bab 5 Zuhud


 

مَا عِندَكُمۡ يَنفَدُ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ بَاقٖۗ وَلَنَجۡزِيَنَّ ٱلَّذِينَ صَبَرُوٓاْ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” 

(Qs. an-Nahl: 96)

 

I. Pengertian Zuhud

(1) Zuhud secara bahasa yaitu sedikit ketertarikan pada sesuatu. Zuhud dari dunia artinya kurang tertarik dengan dunia. Ini sesuai dengan firman Allah,

وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍ بَخْسٍ دَرَاهِمَ مَعْدُودَةٍ وَكَانُوا فِيهِ مِنَ الزَّاهِدِينَ

“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.” (Qs. Yusuf: 20)

Lafazh (الزَّاهِدِينَ) pada ayat di atas, maksudnya adalah para musafir yang menemukan Yusuf di dalam sumur, kemudian mengambilnya dan menjualnya sebagai budak di pasar. Mereka zuhud yaitu tidak tertarik untuk menyimpan Yusuf lebih lama supaya bisa dijual dengan harga tinggi, tetapi justru dijualnya dengan harga murah. Padahal secara fisik, Yusuf adalah seorang yang sangat tampan, bersih dan berakhlak mulia, tentunya harga jualnya sangat tinggi, bisa berpuluh-puluh kali lipat dari budak biasa. Hal itu karena mereka mendapatkan Yusuf secara ilegal, mereka khawatir tindakan mereka akan terbongkar, maka mereka segera menjualnya dengan harga yang sangat murah. Inilah arti “mereka bersikap zuhud terhadap Yusuf (merasa tidak tertarik kepada Yusuf).”

(2) Adapun zuhud secara istilah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu al-Qayyim di dalam Madariju as-Salikin  (2/12),

الزُّهْدُ تَرْكُ مَا لَا يَنْفَعُ فِي الْآخِرَةِ وَالْوَرَعُ تَرْكَ مَا تَخَافُ ضَرَرُهُ فِي الْآخِرَةِ.

Zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat di akhirat. Sedang wara’ adalah meninggalkan apa-apa yang akan memberikan madharat di akhirat.”

Ini dikuatkan dengan perkataan Abu Sulaiman ad-Darani, “Zuhud adalah meninggalkan setiap yang melalaikan dari Allah dan mengingat akhirat.”

(3) Menurut Sufyan ats-Tsauri, zuhud adalah sedikit berangan-angan di dunia. Sedangkan al-Junaid berpendapat bahwa zuhud adalah menganggap remeh dunia, dan menghapus pengaruhnya dari hati.

 

II. Cara Berzuhud

Seorang laki-laki mendatangi al-Hasan al-Bashri dan bertanya, “Apa rahasia sampai engkau bisa zuhud dari  dunia?” Beliau menjawab, “Ada empat hal;

(a) Saya mengetahui bahwa rezeki saya, tidak akan diambil orang, maka hatiku menjadi tenang.

(b) Saya mengetahui bahwa ilmuku tidak akan dikerjakan oleh orang lain, maka saya menyibukkan diri dengan ilmu tersebut.

(c) Saya mengetahui bahwa Allah selalu mengawasiku, maka saya malu, jika Dia melihatku dalam keadaan bermaksiat.

(d) Saya mengetahui bahwa kematian telah menungguku, maka saya mempersiapkan bekal untuk bertemu Rabb-ku.”

III. Dalil Zuhud

Di antara dalil-dalil tentang zuhud dari dunia adalah;

(1) Firman Allah,

مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. an-Nahl: 96)

Ayat di atas menunjukkan bahwa kesenangan dunia hanyalah sementara dan menipu. Sebaliknya, kesenangan di akhirat adalah kesenangan yang abadi dan hakiki. Orang yang zuhud mengetahui hal itu dan berusaha untuk mengejarnya.

(2) Firman Allah,

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. al-Qashash: 76-77)

Ayat di atas memerintahkan setiap orang beriman agar mementingkan kehidupan akhirat sebelum mengurus kehidupan dunia. Inilah hakikat daripada zuhud.

(3) Firman Allah,

  مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Qs. al-Hadid: 22-23)

Ayat di atas menunjukkan makna zuhud, yaitu: (a) agar kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, (b) dan agar kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang Allah berikan kepadamu.

Sebagian ulama meringkasnya dengan istilah,

لا تأسفوا على مفقود ولا تفرحوا لموجود

“Jangan sedih dengan yang hilang dan jangan gembira dengan yang ada.”

(4) Firman Allah,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا  وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ  وَأَبْقَى

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan diri, dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Qs. al-A’la: 14-17)

Ayat di atas menunjukkan bahwa salah satu bentuk pensucian jiwa adalah lebih mementingkan kehidupan akhirat dan meninggalkan hal-hal yang tidak ada manfaatnya bagi kehidupan akhirat. Inilah hakikat zuhud.

 

(5) Firman Allah,

وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى

“Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan).” (Qs. adh-Dhuha: 4)

(6) Hadits Sahal Ibnu Sa'ad radhiyallahu 'anhu,

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ:  جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اَللَّهُ وَأَحَبَّنِي اَلنَّاسُ. فـقَالَ: اِزْهَدْ فِي اَلدُّنْيَا يُحِبُّكَ اَللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا عِنْدَ اَلنَّاسِ يُحِبُّكَ اَلنَّاسُ  

Sahal Ibnu Sa'd radhiyallahu 'anhu berkata, “Ada seseorang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: Tunjukkan kepadaku suatu perbuatan yang bila aku melakukannya aku disukai Allah dan manusia. Beliau bersabda: Zuhudlah dari dunia Allah akan mencintaimu dan Zuhudlah dari apa yang dimiliki orang mereka akan mencintaimu. )HR. Ibnu Majah, 1502 dan lainnya dengan sanad hasan(

Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang mempunyai sifat zuhud akan dicintai oleh Allah dan manusia.

(7) Dari hadits Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu,

عَن أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحَبَّ دُنْيَاهُ أَضَرَّ بِآخِرَتِهِ وَمَنْ أَحَبَّ آخِرَتَهُ أَضَرَّ بِدُنْيَاهُ فَآثِرُوا مَا يَبْقَى عَلَى مَا يَفْنَى

Dari Abu Musa al-Asy'ari bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang lebih mencintai dunianya maka itu akan membahayakan akhiratnya, dan barangsiapa yang lebih mencintai akhiratnya maka itu akan membahayakan dunianya, maka dahulukanlah sesuatu yang kekal dari pada sesuatu yang fana (yang akan sirna). (HR. Ahmad, 18866)

 

IV. Kriteria Zuhud

(1) Harta, tahta dan wanita tidaklah bertentangan dengan zuhud. Maksudnya walaupun seseorang mempunyai kekayaan yang melimpah, tetapi dia tidak pernah melupakan dari beribadah kepada Allah dan selalu berinfak di jalan-Nya, maka orang seperti itu masih masuk dalam kategori zuhud. Bahkan orang seperti itu jauh lebih baik dari orang yang miskin tetapi sibuk mengumpulkan harta, bahkan kadang dengan cara yang haram, sedangkan dirinya tidak pernah ingat Allah dan beribadah kepada-Nya serta lupa dengan akhirat.

(2) Nabi Daud dan Nabi Sulaiman ‘alaihima as-salam termasuk orang yang paling zuhud di dunia, walaupun keduanya adalah raja yang memiliki kekayaan dan kekuasaan yang luas.

(3) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi yang paling zuhud, padahal beliau pernah menikahi tiga belas istri dan ketika wafat meninggalkan sembilan istri.

(4) Sahabat ’Utsman bin ‘Affan dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhuma termasuk orang yang zuhud, walaupun kekayaan mereka berdua sangat melimpah ruah.

(5) Terdapat seorang yang zuhud dan memiliki harta yang banyak. Ketika ditanya tentang pengertian zuhud, maka beliau menjawab, “Jika seseorang tidak bangga (senang) dengan bertambahnya harta dan tidak sedih dengan berkurang harta, maka dia termasuk orang yang zuhud.”

(6) Diantara dalil kriteria zuhud adalah;

(a) Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ 

“Barangsiapa yang keinginannya hanya kehidupan akhirat maka Allah akan memberi rasa cukup dalam hatinya, menyatukan urusannya yang berserakan dan dunia datang kepadanya tanpa dia cari, dan barangsiapa yang keinginannya hanya kehidupan dunia maka Allah akan jadikan kemiskinan selalu membayang-bayangi di antara kedua matanya, mencerai beraikan urusannya dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali sekedar apa yang telah ditentukan baginya.” (HR. at-Tirmidzi, 2389. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani di dalam Silsilah al-Hadits ash-Shahihah (2/634))

Hadits di atas menunjukkan bahwa yang dilihat oleh Allah adalah hati dan niat yang ada dalam diri manusia. Jika niat dan orientasinya untuk akhirat, maka dianggap dia zuhud, walaupun harta dan kekuasaan dalam genggamannya (dunia akan datang kepadanya tanpa dia cari ). Sebaliknya, jika niat dan orientasinya adalah dunia maka dianggap bukanlah orang yang zuhud, walaupun hidupnya serba kekurangan (dunia tidak akan datang kepadanya kecuali sekedar apa yang telah ditentukan baginya).

 

Faedah dari hadits di atas;

(a.1) Berkata as-Sindi (w. 1138 H) di dalam Syarah Ibnu Majah, kesimpulannya: bahwa rezeki yang telah Allah tetapkan untuk hamba-Nya pasti datang, tidak mungkin tidak. Hanya saja bagi pemburu akhirat (orang zuhud) rezeki itu datang kepadanya tanpa merasa keletihan (dan jiwanya tidak galau). Sedangkan pemburu dunia mendapatkan rezeki dengan cara yang sangat melelahkan (dan diiringi dengan kegalauan jiwa).

(a.2) Berkata Ibnu al-Qayyim di dalam Ighatsati al-Lahfan, “Tersiksanya para pemburu dunia terletak pada ambisi mereka untuk mendapatkannya dan kelelahan yang luar biasa dalam mengumpulkannya.”

(b) Ini dikuatkan dengan hadist ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhuma ia berkata,

قَلَّمَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُ مِنْ مَجْلِسٍ حَتَّى يَدْعُوَ بِهَؤُلاَءِ الدَّعَوَاتِ لأَصْحَابِهِ  :اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ ، وَمِنَ اليَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا ، وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا ، وَاجْعَلْهُ الوَارِثَ مِنَّا ، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا ، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا ، وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا ، وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا ، وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا ، وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا

“Sangat jarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dari suatu majelis sehingga berdoa dengan doa ini untuk para sahabatnya, ‘Ya Allah, berikanlah kami rasa takut kepada-Mu yang bisa  menjadi penghalang  antara kami dan maksiat kepada-Mu, dan (berikanlah kami) ketaatan kepada-Mu yang bisa  menyampaikan kami kepada surga-Mu, dan (berikanlah kami) keyakinan yang meringankan kami di dalam  menghadapi musibah dunia. Ya Allah, berilah kami manfaat pada pendengaran kami, penglihatan kami dan kekuatan kami selagi kami hidup, dan jadikanlah ia kekal dengan kami dan terpelihara sehinggalah kami mati, dan Engkau berikan balasan kepada orang yang menzhalimi kami, dan bantulah kami terhadap atas orang yang memusuhi kami, dan janganlah Kau timpakan musibah pada agama kami, dan janganlah juga Engkau jadikan dunia ini sebagai sebesar-besar tujuan kami serta (janganlah Engkau jadikan) pengetahuan kami mengenai dunia semata-mata, dan janganlah Engkau jadikan orang yang tidak kenal belas kasih untuk menguasai kami’.” (HR. at-Tirmidzi, an-Nasai. At-Tirmidzi berkata: Hadist ini Hasan Gharib.)

Di dalam hadits di atas terdapat doa yang berbunyi (Janganlah juga Engkau jadikan dunia ini sebagai sebesar-besar tujuan kami). Ini menunjukkan bahwa yang dilarang adalah menjadikan dunia sebagai tujuan dan pikiran seorang muslim. Berbeda dengan orang yang mempunyai harta, tahta dan wanita (dunia), tetapi dunia bukan menjadi tujuan dan pikirannya sehari-hari. Orang seperti ini termasuk dalam kategori zuhud.

 

V. Tingkatan Zuhud

Menurut Imam Ahmad tingkatan zuhud ada tiga, yaitu:

(a) Zuhud orang al-’awam, yaitu meninggalkan sesuatu yang haram.

(b) Zuhud orang al-khash - al-khawash, yaitu meninggalkan sesuatu yang berlebihan dari yang halal.

(c) Zuhud orang al-’arif - al-’arifin, yaitu meninggalkan sesuatu yang melalaikan dari Allah. Ini yang paling tinggi tingkatannya.

 

VI. Perkataan Ulama tentang Zuhud

(1) Berkata Ahmad ad-Dainuri al-Maliki (w. 333 H) di dalam al-Mujalasah wa Jawahiri al-Ilmi, “Berkata al-Hasan al-Basri,

كل نعيم زائل إلا نعيم أهل الجنة، وكل هم زائل إلا هم أهل النار

‘Setiap kenikmatan pasti hilang kecuali kenikmatan ahli surga. Dan setiap kegalauan pasti hilang kecuali kegalauan ahli neraka’.”

(2) Berkata Ibnu al-Qayyim di dalam al-Fawaid (1/94), “Tidak akan sempurna zuhud di dunia, kecuali dengan dua perenungan:

(a) Merenungi bahwa dunia akan cepat hilang dan fana, akan terus berkurang, kesengsaraan bagi yang mengejarnya.

(b) Merenungi bahwa akhirat pasti datang maka harus disambut dengan persiapan yang matang karena akhirat akan langgeng dan abadi. Di dalamnya terdapat berbagai kebaikan dan kesenangan.”

 

***

Bekasi, 29 Oktober 2021

KARYA TULIS