Karya Tulis
661 Hits

Pensucian Jiwa: Bab 9 Muhasabah


 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ,  وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.”

(Qs. al-Hasyr: 18-19)

 

I. Muhasabah Diri adalah Salah Satu Bentuk Ketakwaan

 Ayat di atas menjadi rujukan utama dalam pembahasan muhasabah (introspeksi). Yang menarik dari ayat  tersebut bahwa Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bertakwa sebanyak dua kali, hal ini menunjukkan betapa pentingnya kandungan ayat di atas.

Berkata al-Qurthubi di dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (17/29), “Dikatakan bahwa takwa yang pertama, maksudnya adalah taubat dari dosa-dosa yang telah lalu. Adapun takwa yang kedua adalah menghindari dari maksiat di masa mendatang.”

Setelah Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bertakwa, kemudian Allah memerintahkan setiap jiwa dari mereka untuk melihat apa saja bekal yang yang sudah disiapkan untuk menyambut hari esok, inilah makna muhasabah (intropeksi).

Artinya bahwa salah satu bentuk ketakwaan kepada Allah adalah selalu bermuhasabah diri terhadap apa yang sudah dikerjakan selama ini.

Ayat lain yang menunjukkan perintah untuk muhasabah adalah firman-Nya,

 وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (Qs. al-Qiyamah: 2)

Al-Hasan al-Basri menafsirkan ayat di atas, “Seorang mukmin selalu mempertanyakan dirinya, ‘Apa tujuan saya berbicara? Apa tujuan saya makan? Apa tujuan saya minum?’ Sedangkan orang yang tidak beriman bekerja begitu saja tanpa mempertanyakan tujuan dari setiap aktifitasnya.”

Ayat di atas dikuatkan dengan firman-Nya,

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (Qs. al-A’raf: 201)

Ayat di atas menunjukkan bahwa salah satu ciri orang bertakwa adalah jika tergelincir dengan godaan syaithan segera melakukan muhasabah dan mengingat Allah, maka kemudian mereka sadar. Ini dikuatkan dengan firman-Nya,

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Qs. Ali Imran: 135)

 

II. Persiapan untuk Hari Esok

Mempersiapkan diri untuk menghadapi hari esok adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Hari esok ada dua, yaitu: hari esok yang dekat, dan hari esok yang jauh.

Adapun hari esok yang dekat adalah hari-hari mendatang di dalam kehidupan dunia ini bisa satu hari lagi, satu minggu lagi, satu bulan lagi, satu tahun lagi, sepuluh tahun lagi dan seterusnya. Yang jelas, setiap diri kita harus mempersiapkan diri untuk masa depan.

Ayat ini memerintahkan kita umat Islam untuk selalu mempunyai rencana dan rancangan yang matang dalam setiap aktivitas, tidak asal kerja, tidak asal beramal. Sehingga hasil kegiatan yang terencana dan terprogram dengan rapi akan menghasilkan sesuatu yang baik dan bermanfaat, baik di dunia ini maupun di akhirat.

Adapun hari esok yang jauh maksudnya adalah hari akhirat, maka setiap diri kita hendaknya mempersiapkan bekal amal untuk dibawa ke akhirat.

Berkata al-Qurtubi: “Hari esok adalah hari kiamat. Orang Arab menyebut sesuatu yang akan datang dengan esok hari.”

Ayat di atas sesuai dengan hadist Abu Ya’la Syadad bin Aus radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 الكَيْسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنِ اتَّبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، وَتَمَنَّي عَلَي الله

“Orang yang cerdik adalah orang yang selalu menahan hawa nafsunya dan beramal untuk sesudah mati, sedangkan orang yang lemah adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah.” (HR. at-Tirmidzi, dan beliau berkata: hadist ini Hasan Shahih.)

 

III. Macam-Macam Muhasabah Diri

Muhasabah diri bisa dibagi menjadi beberapa macam:

(1) Muhasabah sebelum Beramal

Sebelum beramal hendaknya kita bermuhasabah, apakah amal yang akan kita kerjakan sudah benar-benar diniatkan karena Allah semata, atau ada niat lain?  Seandainya sudah ikhlas, maka apakah sudah sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Berkata al-Hasan al-Basri,

رَحِمَ الله عَبْداً وَقَفَ عِنْدَ هَمِّهِ، فّإِنْ كَانَ لِلهِ مَضَى، وَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهِ تَأَخَّرَ.

“Mudah-mudahan Allah selalu memberikan rahmat kepada seorang hamba yang selalu merenungi sebelum melakukan aktifitas, jika diniatkan karena Allah, maka ia lakukan aktivitas tersebut, tetapi jika bukan karena Allah, dia urungkan aktivitas tersebut.”

(2) Muhasabah Ketika Beramal

Jika kita sedang shalat umpamanya, hendaknya tetap berusaha agar shalat kita tetap khusyu’ dan diniatkan hanya karena Allah hingga akhir shalat. Jangan sampai di tengah-tengah shalat muncul hal-hal yang mengganggu kekhusyu’an dan keikhlasan kita. 

(3) Muhasabah setelah Beramal

Setelah melakukan suatu amal, hendaknya seseorang melakukan muhasabah kembali, apakah amalnya sudah bermanfaat bagi orang lain atau belum, jika sudah bermanfaat, sejauh mana manfaat tersebut, sedikit atau banyak, jika masih sedikit hendaknya ditingkatkan kembali.    

Melihat amal perbuatan yang dikerjakannya belum sempurna, maka hendaknya disempurnakan kembali di masa mendatang. Amal perbuatannya yang belum ikhlas, hendaknya diusahakan untuk benar-benar ikhlas karena Allah di masa-masa mendatang, dan seterusnya.  

 

IV. Perkataan Ulama tentang Muhasabah

(1) ‘Umar bin al-Khattab radhiyallahu 'anhu berkata,

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوْهَا قَبْلَ أَنْ تُوَزِّنُوا، فَإِنّ أَهْوَنَ عَلَيْكُمْ فِي الحِسَابِ غَداً أَنْ تُحَاسَبُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْم، وتُزَيِّنُوا للْعَرْضِ الأكْبِر، يَوْمَئِذ تُعْرَضُوْنَ لَا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَة

“Bermuhasabalah atas diri kalian sendiri sebelum kalian dihisab pada hari kiamat, dan timbanglah amal kalian di dunia ini sebelum nanti ditimbang pada hari kiamat. Sesungguhnya kalian akan merasa ringan dengan bermuhasabah pada hari ini untuk menghadapi hisab kelak. Dan berhiaslah kalian (dengan amal shalih) untuk menghadapi hari pameran agung. Pada hari itu perbuatan kalian akan ditampilkan tidak ada yang tersembunyi sedikitpun.”

‘Umar bin al-Khattab juga pernah menulis kepada gubernurnya, “Bermuhasabahlah atas diri kalian ketika sedang mapan, sebelum datangnya kesempitan hidup. Karena hal itu akan membuat-Nya ridha dalam setiap keadaan. Sebaliknya, siapa yang terlena dengan kehidupan dunia dan selalu mengikuti hawa nafsu, maka dia akan menyesal di kemudian hari.” (AR. al-Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir)

(2) Berkata al-Hasan al-Bashri,

إنّ العَبْدَ لَا يَزَالُ بِخَيْرٍ مَا كَانَ لَهَ وَاعِظُ مِنْ نَفْسِهِ، وِكِانَتْ المُحَاسِبِةُ هِمَّتَهُ.

“Sesungguhnya seorang hamba akan selalu dalam keadaan baik selama dia mempunyai penasehat dari dirinya sendiri, dan selalu bermuhasabah diri.”

(3) Berkata Maimun Mahran,

لَا يَكُوْنُ العَبْدُ تَقِياً حَتَّى يَكُوْنَ لِنَفْسِهِ أَشَدّ مُحاسَبة مِنَ الشَّرِيْكِ لشريكه

“Seseorang tidak akan mendapatkan predikat ketakwaan sampai dia melakukan muhasabah kepada dirinya lebih ketat dibanding seorang teman yang bermuhasabah terhadap temannya.”

(4) Diriwayatkan dari Imam Ahmad dari Wahab, telah tertulis di dalam Hikmah Keluarga Nabi Daud  ‘alaihi as-salam bahwa,

“Orang yang berakal hendaknya membagi waktunya menjadi 4 bagian, yaitu: (1) waktu untuk bermunajat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, (2) waktu untuk intropeksi terhadap diri sendiri, (3) waktu untuk bergaul dengan teman-temannya yang bisa memberitahu kekurangannya, dan (4) waktu untuk bertafakkur tentang dirinya dan kenikmatan yang didapatkan. Sesungguhnya waktu-waktu tersebut bisa membantu untuk memperbaiki hati.”

(5) Berkata Ibnu Qudamah di dalam Minhaju al-Qasidin, “Ketahuilah bahwasanya musuh terbesarmu adalah jiwamu sendiri. Karena jiwa itu, terkadang memerintahkan untuk berbuat jahat, selalu cenderung kepada keburukan (nafsun amaratun bi as-su’), dan terkadang memerintahkan kebaikan serta menyuruhnya untuk beribadah kepada Allah. Jika engkau selalu menjaga dan mengingatkannya untuk tetap dalam kebaikan serta menjauhi kejahatan (nasfun lawwamah), maka diharapkan jiwa tersebut akan menjadi jiwa yang tenang (nasfun muthmainnah). Oleh karenanya, jangan sampai engkau berhenti untuk mengingatkan jiwa yang ada dalam dirimu.”

 

V. Hal-hal yang Menunjang Muhasabah

Banyak hal yang bisa menunjang seseorang untuk bisa bermuhasabah, diantaranya adalah;

(1) Selalu menuntut ilmu, karena dengan ilmu seseorang bisa membedakan antara haq dan bathil. Semakin kuat ilmunya, maka semakin mudah seseorang untuk bermuhasabah.

(2) Su’uzhan kepada dirinya sendiri. Sebelum seseorang menyalahkan orang lain, hendaknya dia melihat dirinya sendiri. Barangkali ada kekurangan dalam dirinya yang perlu diperbaiki.

Para ulama dahulu ketika mendapati kuda atau kendaraannya bermasalah, pertama kali yang dia cari adalah kesalahan dirinya. Sebagian dari mereka ketika mendapatkan pembantunya bermasalah, maka yang dia cari pertama kali adalah kesalahan dirinya sendiri sebelum menyalahkan pembantunya.

(3) Membedakan antara kenikmatan dan ujian. Betapa banyak orang yang tidak bisa membedakan antara keduanya. Ketika dia mendapatkan kenikmatan atau kemudahan dari Allah subhanahu wa ta’ala dianggap hal itu merupakan tanda kasih sayang kepada-Nya. Sehingga dia selalu merasa sempurna dan tidak mau bermuhasabah. Padahal sebenarnya hal itu adalah ujian baginya, atau lebih tepat disebut sebagai al-istidraj (pemberian kenikmatan kepada orang-orang yang bermaksiat). Tujuannya agar mereka bermuhasabah dan bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ketika tiba waktunya mereka tetap tidak bermuhasabah, maka Allah akan menghukumnya dengan seberat-beratnya. Ini sesuai dengan firman-Nya,

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Qs. al-An’am: 44)

 

VI. Manfaat Muhasabah

Muhasabah memiliki beberapa manfaat, diantaranya;

(1) Bisa mengetahui kekurangan dirinya, kemudian berusaha untuk memperbaikinya. Berkata Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, “Tidaklah seseorang dikatakan faham agama sampai dia marah terhadap orang yang melanggar perintah Allah. Tetapi dia juga mengevaluasi dirinya dan ternyata dia mendapati kesalahan dirinya lebih fatal  daripada orang lain.”

(2) Dia semakin menyadari luasnya kebaikan Allah subhanahu wa ta’ala kepada dirinya. Dia semakin mengetahui betapa banyak karunia Allah yang diberikan kepada dirinya, khususnya ketika dia membandingkan antara nikmat yang Allah berikan kepadanya dengan banyaknya maksiat yang dia lakukan kepada Allah.

(3) Muhasabah bisa mensucikan jiwa dan memperbaikinya setiap saat. Ini sesuai dengan firman-Nya,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا ۞ وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا ۞

 “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Qs. asy-Syams: 9-10)

Berkata Malik bin Dinar, “Semoga Allah merahmati seorang yang mengatakan kepada dirinya, ‘Bukankah anda orang yang pernah berbuat maksiat begini dan bukankah anda juga orang yang pernah berbuat maksiat begitu? Kemudian dia mencela dirinya sendiri dan bertaubat kepada Allah’.”

 

VII. Orang Fasik adalah Orang yang Lupa kepada Allah

Allah berfirman,

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Qs. al-Hasyr: 18-19)

Salah satu bentuk muhasabah dan intropeksi diri adalah tidak lupa kepada Allah, sebaliknya dia selalu berdizikir dan mengingat Allah, serta mempersiapkan diri dan mencari bekal untuk hari di mana dia akan bertemu dengan Allah.

Maka Allah melarang kita untuk menyerupai orang-orang yang melupakan Allah, karena lupa kepada Allah akan menyebabkan seseorang melupakan dirinya sendiri. Bagaimana hal itu terjadi?

Kalau seseorang lupa bahwa Allah adalah Rabb dan Penciptanya, maka dia akan lupa terhadap dirinya, lupa terhadap asal-usulnya yang dulu tidak ada, kemudian menjadi ada. Dulu dia hanya berupa air mani yang hina, kemudian Allah menjadikannya menjadi orang yang dewasa dan kuat, yang kemudian akan kembali lemah dan akhirnya akan mati dan kembali lagi kepada Allah.

Maka kalau seseorang lupa kepada Allah, dia akan lupa kepada hal-hal tersebut, selanjutnya dia akan berbuat semena-mena dan semau-maunya di muka bumi ini, tanpa ada aturan yang mengikatnya, orang-orang seperti ini akan menjadi orang  yang merugi di dunia, karena akan dijauhi masyarakat, akan dikucilkan bahkan akan ditahan karena daya rusaknya yang begitu hebat di masyarakat.

Maka Allah selalu mengingatkan manusia akan asal usulnya dan mengingat juga bahwa dia akan kembali kepada asalnya dan pemiliknya yaitu Allah. Lihat umpamanya di dalam Qs al-Mukminun, Qs. al-Hajj, Qs. ar-Rum, Qs. al-Insan, Qs. as-Sajdah dan banyak lagi ayat-ayat yang serupa. 

Ibnu Katsir di dalam Tafsir al-Qur’an al-Azhim (4/432) berkata, “Maksudnya janganlah kalian melupakan untuk mengingat Allah, maka Allah akan membuat kalian lupa beramal shalih yang akan membawa manfaat bagi kalian di akhirat. Sesungguhnya ganjaran itu sesuai dengan amal perbuatan.”

Berkata Abdurrahman as-Sa’di di dalam Taisir al-Karim ar-Rahman,

بل أنساهم الله مصالح أنفسهم، وأغفلهم عن منافعها وفوائدها، فصار أمرهم فرطا، فرجعوا بخسارة الدارين، وغبنوا غبنا، لا يمكنهم تداركه،

“Bahkan Allah menjadikan mereka lupa terhadap maslahat mereka sendiri, Allah memalingkan mereka sehingga lupa terhadap hal-hal yang bermanfaat untuk diri mereka sendiri, sehingga urusan mereka menjadi kacau, dan akhirnya mereka rugi dunia dan akhirat, kerugian yang tidak mungkin bisa diganti lagi.”

Kesibukan mengumpulkan harta dan memikirkan masa depan anak-anak mereka membuat mereka lupa kepada Allah sehingga mereka menjadi orang yang merugi. Ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ .

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Qs. al-Munafiqun: 9)

 

***

 Bekasi, 21 Oktober 2021

KARYA TULIS