Karya Tulis
680 Hits

Tafsir (Qs. Al-Baqarah: 41-42) Bab 34 - Wasiat kepada Bani Israel (1)


WASIAT KEPADA BANI ISRAEL (1)


يَٰبَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ ٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتِيَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ وَأَوۡفُواْ بِعَهۡدِيٓ أُوفِ بِعَهۡدِكُمۡ وَإِيَّٰيَ فَٱرۡهَبُونِ ۞ وَءَامِنُواْ بِمَآ أَنزَلۡتُ مُصَدِّقٗا لِّمَا مَعَكُمۡ وَلَا تَكُونُوٓاْ أَوَّلَ كَافِرِۭ بِهِۦۖ وَلَا تَشۡتَرُواْ بِـَٔايَٰتِي ثَمَنٗا قَلِيلٗا وَإِيَّٰيَ فَٱتَّقُونِ۞ 

“Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk). Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (al-Qur’an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.”

(Qs. al-Baqarah: 40-41)

 

Mulai dari ayat ini al-Qur’an berbicara tentang Bani Israel, sebagai salah satu keturunan Nabi Adam, yang bertugas menjadi khalifah di muka bumi. Sekaligus mengingatkan mereka agar beriman kepada Nabi Muhammad. Sebagaimana telah dijelaskan latar belakang mereka agar pada bab sebelumnya.

Di bawah ini akan dijelaskan beberapa wasiat Allah (perintah dan larangan) Allah untuk mereka. Adapun rinciannya sebagai berikut:

(1)  Perintah untuk Mengingat Nikmat Allah.

Firman-Nya,

ٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتِيَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ

“Ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu” (Qs. al-Baqarah: 40)

 Ayat ini memerintahkan Bani Israel untuk mengingat nikmat Allah kepada mereka dan nikmat Allah yang diberikan kepada nenek moyang mereka, terutama yang hidup pada zaman Nabi Musa.

Di antara nikmat Allah yang diberikan kepada Bani Israel adalah sebagaimana yang tersebut di dalam firman Allah,

وَإِذۡ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوۡمِهِۦ يَٰقَوۡمِ ٱذۡكُرُواْ نِعۡمَةَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ جَعَلَ فِيكُمۡ أَنۢبِيَآءَ وَجَعَلَكُم مُّلُوكٗا وَءَاتَىٰكُم مَّا لَمۡ يُؤۡتِ أَحَدٗا مِّنَ ٱلۡعَٰلَمِينَ 

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi diantaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain".” (Qs. al-Maidah: 20)

 Ayat di atas menunjukkan bahwa nikmat Allah kepada Bani Israel sangat banyak di antaranya:

(a) Para Nabi banyak dari kalangan Bani Israel. Sejak Nabi Ya’kub, Nabi Yusuf, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Zakaria, Nabi Yahya sampai Nabi Isa, dan nabi-nabi lainnya yang tidak disebut dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Salah satu Nabi dari Bani Israel yang termaktub dalam al-Qur’an, tetapi tidak disebut namanya adalah yang terdapat di dalam firman Allah,

أَلَمۡ تَرَ إِلَى ٱلۡمَلَإِ مِنۢ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ مِنۢ بَعۡدِ مُوسَىٰٓ إِذۡ قَالُواْ لِنَبِيّٖ لَّهُمُ ٱبۡعَثۡ لَنَا مَلِكٗا نُّقَٰتِلۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۖ قَالَ هَلۡ عَسَيۡتُمۡ إِن كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِتَالُ أَلَّا تُقَٰتِلُواْۖ قَالُواْ وَمَا لَنَآ أَلَّا نُقَٰتِلَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَقَدۡ أُخۡرِجۡنَا مِن دِيَٰرِنَا وَأَبۡنَآئِنَاۖ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡقِتَالُ تَوَلَّوۡاْ إِلَّا قَلِيلٗا مِّنۡهُمۡۚ وَٱللَّهُ عَلِيمُۢ بِٱلظَّٰلِمِينَ  

“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang". Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?". Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim.” (Qs. al-Baqarah: 246)

(b) Allah menjadikan mereka merdeka setelah bertahun-tahun lamanya dijadikan budak oleh Fir’aun di Mesir.

(c) Allah memberikan kepada Bani Israel beberapa nikmat yang tidak diberikan kepada umat lainnya, seperti dibelahkan bagi mereka Laut Merah sehingga selamat dari kejaran Fir’aun dan tentaranya, diturunkan kepada mereka makanan dari langit berupa manna (sejenis madu) dan salwa (sejenis Burung Puyuh), dipancarkan air dari batu untuk mereka dan nikmat-nikmat lain yang sangat banyak.

Mengingat banyak nikmat yang diberikan kepada nenek moyang berarti mengingat nikmat yang diberikan kepada mereka. Karena keberadaan anak dan cucu disebabkan keberadaan kakek dan nenek moyang.

(2)  Perintah untuk Menunaikan Perjanjian yang Mereka Buat di Hadapan Allah.

Firman-Nya,

وَأَوۡفُواْ بِعَهۡدِيٓ أُوفِ بِعَهۡدِكُمۡ

“Dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu.” (Qs. al-Baqarah: 40)

Perjanjian yang dimaksud adalah: Perjanjian untuk menyampaikan isi Taurat apa adanya, tanpa ditutupi sebagian isinya, khususnya tentang kenabian Muhammad.

Allah berfirman,

وَلَا يَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَنَّمَا نُمۡلِي لَهُمۡ خَيۡرٞ لِّأَنفُسِهِمۡۚ إِنَّمَا نُمۡلِي لَهُمۡ لِيَزۡدَادُوٓاْ إِثۡمٗاۖ وَلَهُمۡ عَذَابٞ مُّهِينٞ 

“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (Qs. Ali ‘Imran: 178)

(3)  Perintah untuk selalu Takut akan Ancaman dan Siksaan Allah.

Firman-Nya,

بِعَهۡدِكُمۡ وَإِيَّٰيَ فَٱرۡهَبُونِ

“Dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).” (Qs. al-Baqarah: 40)

Beribadah kepada Allah harus ada dua unsur, yaitu pengharapan dan rasa takut.

Ini sesuai dengan firman Allah,

تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمۡ عَنِ ٱلۡمَضَاجِعِ يَدۡعُونَ رَبَّهُمۡ خَوۡفٗا وَطَمَعٗا وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ 

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezeki yang Kami berikan.” (Qs. as-Sajdah: 16)

Ini dikuatkan dengan firman Allah,

 أَمَّنۡ هُوَ قَٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ سَاجِدٗا وَقَآئِمٗا يَحۡذَرُ ٱلۡأٓخِرَةَ وَيَرۡجُواْ رَحۡمَةَ رَبِّهِۦۗ قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ 

“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Qs. az-Zumar: 9)

Dan banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang rasa takut dan pengharapan. Insya Allah akan diterangkan secara lebih luas sesuai dengan ayat yang dibahas.

 (4)  Perintah untuk Beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang Membenarkan Kitab Taurat dan Injil.

Firman-Nya,

وَءَامِنُواْ بِمَآ أَنزَلۡتُ مُصَدِّقٗا لِّمَا مَعَكُمۡ

“Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (al-Qur’an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat).” (Qs. al-Baqarah: 41)

(5)  Larangan menjadi Orang yang Pertama Kali Mengkafiri Al-Qur’an.

Firman-Nya,

وَلَا تَكُونُوٓاْ أَوَّلَ كَافِرِۭ بِهِۦ

“Dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya.” (Qs. al-Baqarah: 41)

Disebut orang pertama yang mengkafiri al-Qur’an padahal sebelumnya sudah ada yang mengkafiri al-Qur’an yaitu orang-orang Quraisy di Mekkah, karena maksudnya disini adalah orang pertama kali dari kalangan Ahlul Kitab (Bani Israel).

(6) Larangan Menjual Ayat-ayat Allah dengan Harga Murah.

Firman-Nya,

لَا تَشۡتَرُواْ بِـَٔايَٰتِي ثَمَنٗا قَلِيلٗا

“Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah.” (Qs. al-Baqarah: 41)

Dalam masalah ini ada beberapa poin yang perlu dijelaskan:

(a) Larangan menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, pada ayat di atas ditujukan kepada para pendeta dan pemuka agama dari kalangan Yahudi yang mengubah ayat-ayat Allah, di antaranya menutupi ayat yang berhubungan dengan kenabian Muhammad. Dengan perbuatan tersebut mereka mendapatkan harta dan fasilitas hidup.

(b) Uang (harta) yang mereka dapat kadang jumlahnya besar, tetapi oleh Allah tetap disebut harga yang sedikit ( ثَمَنٗا قَلِيلٗا ). Disebut sedikit jika dibandingkan dengan harga surga yang begitu mahal. Tidak cukup emas sebesar bumi ini untuk membelinya.

Allah berfirman,

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ وَمَاتُواْ وَهُمۡ كُفَّارٞ فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡ أَحَدِهِم مِّلۡءُ ٱلۡأَرۡضِ ذَهَبٗا وَلَوِ ٱفۡتَدَىٰ بِهِۦٓۗ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ وَمَا لَهُم مِّن نَّٰصِرِينَ 

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seseorang diantara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong.” (Qs. Ali-Imran: 91)

(c) Larangan pada ayat di atas juga berlaku bagi umat Islam yang menyembunyikan sebagian isi Al-Qur’an demi mendapatkan harta dan kekuasaan.

(d) Mayoritas ulama membolehkan seseorang mengambil honor dari tugas mengajar agama di sekolah, madrasah, serta perguruan tinggi, jika dia membutuhkannya. Begitu juga boleh mengambil honor dari tugas imam shalat, muadzin, khatib, penceramah dan sejenisnya kecuali hal itu sudah menjadi kewajibannya. Maksudnya; tidak ada orang lain yang bisa melakukan tugas tersebut kecuali dia.

Contoh: jika di suatu daerah tidak ada yang bisa menjadi imam shalat atau khatib Jum’at kecuali dia, maka dalam keadaan seperti ini, dia tidak boleh mengambil honor dari pekerjaan tersebut, karena sudah menjadi kewajibannya.

Oleh karenanya, para ulama membolehkan seseorang mengambil honor dari mengajar al-Qur’an dan ilmu agama, memberikan beberapa alasan, di antaranya:

(d.1) Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ حَقًّا كِتَابُ اَللَّهِ

“Sesungguhnya yang paling berhak untuk mengambil upahnya adalah mengajari al-Qur’an.” (HR. al-Bukhari, 5737)

Hadits di atas disampaikan berhubungan dengan para sahabat yang “meruqyah”  (membaca al-Qur’an) kepada salah satu kepala suku yang sakit karena digigit binatang berbisa, kemudian dengan bacaan al-Qur’an tersebut, sakitnya sembuh. Kemudian kepala suku tersebut memberikan hadiah atau upah berupa puluhan ekor kambing kepada para sahabat. Karena ragu, maka mereka bertanya kepada Rasulullah, dan hadits di atas adalah jawabannya.

(d.2) Jika pemberian upah kepada para guru dan penceramah tidak dibolehkan, maka penggunaan ilmu agama dan al-Qur’an akan berhenti dan mati. Karena mereka akan mencari pekerjaan lain yang menghasilkan uang (harta) untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, upah bisa meningkatkan kualitas ilmu para pengajar agama, karena dengan harta tersebut, mereka bisa membeli buku-buku, mengikuti kursus-kursus agama, atau melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

(d.3) Perlu dijelaskan di sini, bahwa pengajar ilmu agama atau penceramah hendaknya mengikhlaskan niat mengajar karena Allah. Adapun jika dalam pengajaran mereka diberi upah atau honor maka itu sebagai tambahan dan bukan tujuan utama.

Dengan demikian, tidak dianjurkan, atau dimakruhkan bagi mereka untuk memasang tarif ceramah mereka karena mengesankan bahwa mereka sudah menjadikan ceramah sebagai barang komersil, diperjualbelikan dengan harga murah. Sebagian ulama mengharamkan hal itu.

(d.4) Untuk menghindari hal-hal semacam itu terjadi di masyarakat, hendaknya negara hadir untuk memberikan tunjangan atau gaji tetap kepada para ulama, sehingga mereka tidak perlu mencari uang sendiri.

Inilah yang berlaku pada zaman keemasan Islam dimana Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai seorang khalifah digaji dari negara dan juga khalifah-khalifah berikutnya sampai hari ini.

Beberapa negara hari ini juga memberikan gaji kepada para imam masjid dan guru-guru agama.

(d.5) Sebagian ulama memberikan alasan kebolehan para pengajar agama, khatib, imam dan muadzin mengambil upah dari pekerjaan mereka, karena waktu mereka tersita dengan pekerjaan-pekerjaan tersebut, padahal hal itu bukan kewajiban mereka.

Intinya yang mereka gaji bukan mengajar al-Qur’an atau imam shalatnya, tetapi yang mereka gaji adalah waktu yang diambil dari mereka atau bahasa sederhananya membeli waktu mereka.

(7) Perintah agar Mereka Bertakwa kepada Allah.

Firman-Nya,

وَإِيَّٰيَ فَٱتَّقُونِ  

“Dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.” (Qs. al-Baqarah: 41)

Makna takwa secara bahasa adalah menjaga diri. Maksud takwa di sini adalah menjaga diri dari siksa Allah, atau takut terhadap siksa Allah.

Untuk pembahasan takwa lebih lengkap sudah disampaikan pada penafsiran ayat 2 dari surat al-Baqarah ketika membahas firman Allah.

هدى للمتقين

Dan Insya Allah akan diperluas pada pembahasan ayat-ayat berikutnya.

 

***

Ahmad Zain An-Najah

Jakarta, Senin, 27 Desember 2021

KARYA TULIS