Penulis
10176 Hits

Pakar Fikih: Pelarangan Nikah Siri Akan Mengundang Pelacuran

Jika nikah siri betul-betul dilarang, maka perzinaan dan pelacuran akan menjadi pelampiasan

Hidayatullah.com--“Padahal zaman dulu setelah nikah siri dilaksanakan, baru dilaporkan ke KUA, dan tidak repot,” demikian ungkap DR. Ahmad Zain An-Najah, seorang pakar fikih, dalam diskusi Sabtuan yang diselenggarakan oleh INSISTS di Jl. Kalibata Utara II Jakarta.

Dalam acara yang dihadiri puluhan peserta itu, doktor bidang fikih itu menjelaskan, kedudukan nikah siri dalam Islam. Secara bahasa siri itu berarti rahasia, sembunyi-sembunyi, pelan-pelan, atau bisa juga diartikan berbisik-bisik. Namun secara istilah ada dua pengertian.

“Pertama, nikah sembunyi-sembunyi yang dilaksanakan tanpa wali dan tanpa saksi, seperti kasus nikah mut’ah dalam paham Syiah. Nikah jenis ini jelas tidak sah. Imam Abu Hanifah mensyaratkan persetujuan wali, tanpa ada persetujuan wali maka nikah tersebut hukumnya batal. Selain itu ada hadis sahih yang menegaskan bahwa nikah itu tidak sah kecuali ada wali. Bahkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah tegas menyatakan bahwa siapa saja wanita yang menikah tanpa izin wali, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal,” terangnya. “Kedua, nikah siri juga berarti pernikahan yang dilakukan dengan menyertakan wali, dua saksi, dan ada ijab qabul. Hanya saja tidak dicatat oleh negara, dalam hal ini KUA. Secara syariat nikah jenis ini sah,” tegasnya.

Pertanyaannya kemudian, kenapa praktik nikah siri itu banyak dilakukan oleh umat Islam di Indonesia? Salah satu peneliti INSISTS ini pun menjelaskan, pertama, bisa jadi faktor biaya. Sebab tidak semua calon pengantin memiliki kemampuan finansial yang cukup.

Kedua, menghindari masalah karena ada pemberlakuan aturan dari lembaga seseorang yang melarang menikah lebih dari satu. Ketiga, takut mendapat stigma negatif dari masyarakat, dan keempat bisa jadi karena pertimbangan-pertimbangan lain yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.

“Sekali lagi nikah seperti ini sah, karena syarat dan rukun terpenuhi,” tegasnya.

Lalu mengapa nikah yang sah secara syariat ini dinilai tidak baik dan cenderung merugikan kaum wanita dan anak-anak dalam keluarga oleh sebagian pihak, sehingga pelakunya harus dipidana, sementara prostitusi dianggap wajar dan legal? Alumnus Mesir ini pun menengarai, ada rekayasa kaum liberal dalam upaya dekontruksi syariat Islam di Indonesia.

“Isu ini (RUU nikah siri) perlu ditelusuri karena sangat berbahaya. Siapa yang pertama kali mengajukannya, apa motifnya, dan mengapa pelakunya harus dipidana? Ada indikasi intervensi asing tidak? Jika ini (nikah siri) betul-betul dilarang, maka perzinaan dan pelacuran akan menjadi pelampiasan. Bagaimana tidak? Orang yang nikah justru dipidana, sementara yang kumpul kebo tidak diapa-apakan. RUU itu sulit diterima akal sehat,” jelasnya.
“Sebaiknya pemerintah mengkaji secara komprehensif tentang pernikahan dalam Islam, termasuk nikah siri ini. Jangan sampai memberlakukan sebuah aturan yang justru menimbulkan kerusakan di muka bumi. Bukti berupa oknum suami yang tidak bertanggung jawab dan menelantarkan keluarganya, hendaknya tidak menjadikan kita salah paham, sehingga melihat aturan poligami dan nikah siri ini sebagai syariat yang merugikan. Ini jelas keliru,” katanya. [imam/www.hidayatullah.com]

KARYA TULIS