Penulis
6992 Hits

Ketika Dalam Masa-Masa Belajar

uim5Berikut adalah wawancara Kolom Islamia Harian Republika dengan Dr. Ahmad Zain An Najah, MA pada tanggal 15/6/2010 :

Bagaimana masa kecil belajar ? Dan bagaimana peran orang tua ? Apa yang paling berkesan ketika belajar waktu kecil tersebut ?

Seingat saya, ketika kecil, saya belajar di bawah bimbingan orang tua...khususnya di dalam membaca al Qur’an.  Teringat sekali di benak saya sampai sekarang, pada waktu itu belum ada listrik di rumah, walaupun sebenarnya tempatnya masih di bilangan kota.  Hanya diterangi lampu teplok ( lampu yang masih menggunakan minyak tanah ) dengan sangat telaten, ibu saya mengajari alif ba’ ta’. Ketika sudah masuk SD, peran ayah jauh lebih dominan. Setiap selesai sholat Maghrib beliau mewajibkan anak-anaknya untuk membaca al Qur’an, sehingga hal itu menjadi kebiasaan kami.

Pada saat saya duduk di kelas VI SD, kakak saya yang sudah lulus SD lebih dahulu  dimasukkan orang tua ke Pesantren. Saya pada waktu itu juga bersikeras ikut masuk Pesantren padahal masih kelas VI SD, tetapi sayang pihak Pesantren tidak mengijinkan saya ikut, walau sekedar sebagai pendengar saja, akhirnya saya pulang dengan rasa kecewa.

Bagaimana pendidikan ketika remaja ? Dan apa yang terkesan pada masa-masa itu ?

Betapa senangnya perasaan saya, ketika pada tahun berikutnya bisa masuk pesantren menyusul kakakku. Seingat saya, pada waktu itu terjadi gerhana matahari total yaitu pada tahun 1983. Masa-masa remaja saya dihabiskan di pesantren tersebut. Saya digembleng dengan pendidikan keras yang menekankan kedisiplinan dan penanaman aqidah Islam, sampai-sampai belum genap satu tahun saya di Pesantren, saya sudah sering berdebat dan dialog dengan ayah saya tentang masalah-masalah agama, padahal profesi ayah saya pada waktu itu adalah kepala sekolah MTsN dan seorang da’i.

 

Bagaimana anda bisa sekolah di Universitas Islam Madinah ?

Setelah enam tahun digembleng di pesantren dengan berbagai disiplin keilmuaan, orang tua saya menawarkan untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi mengikuti jejak kakak-kakak saya. Entah karena apa, saya menolak tawaran tersebut, yang ada di benak saya adalah bahwa saya harus sekolah ke luar negri, bagaimana caranya saya tidak tahu ? Bagi saya, yang penting ada kemauan dulu, sambil berdo’a mudah-mudahan Allah mengabulkan cita-cita itu.

Hanya berselang beberapa bulan, waktu itu saya kebetulan dipercaya pesantren untuk mengajar murid-murid kelas I KMI ( setingkat SMP ), datanglah tawaran  untuk sekolah di Kuwait, ijazah saya mulai diurus, tapi sayang Allah belum mentaqdirkan saya ke sana, karena kalah cepat dengan Saddam Husen yang melakukan invansi ke negara yang kaya minyak tersebut. Dalam bayangan saya, ijazah saya yang dikirim ke sana mungkin sudah dinjak-injak tentara-tentara Saddam Husain.  Kejadian itu tidak menyurutkan tekad saya, dan saya tetap optimis dan semangat, walaupun ada saja  pihak-pihak yang menggembosi semangat tersebut. Alhamdulillah tak berapa lama, datanglah tawaran untuk melanjutkan sekolah ke Universitas Islam Madinah, tentu saja, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut.

Apa yang terkesan selama di Madinah ? Dan siapa saja guru-guru idola di sana ?

Selama empat tahun di kota Rasulullah saw tersebut, saya merasa banyak mendapatkan sesuatu yang baru, yang belum pernah saya lihat atau saya dengar di Indonesia. Rasanya belajar saya selama enam tahun di Pesantren ditambah tiga tahun mengajar, belumlah dikatakan belajar yang sungguh-sungguh.  Dan belum apa-apa jika dibandingkan dengan luasnya ilmu Allah ini.  Di Madinah tersebut, saya masuk Fakultas Syariah, dan semenjak itu, saya mulai mengenal ilmu-ilmu Syariah ( Fikih dan Ushul Fikih ) yang sebelumnya masih sangat asing bagi saya, karena selama di Indonesia saya banyak menggeluti masalah-masalah Aqidah dan Dakwah.  Ilmu Fikih yang dulunya saya benci, mulai merasuk dalam hati saya, dan sedikit-sedikit rasa cinta dengan ilmu Fikih itu mulai muncul hingga hari ini.  Selain belajar di kampus, selama di Madinah, saya menambah bekal ilmu dengan belajar langsung kepada para ulama besar yang mempunyai halaqah atau semacam kelompok kajian di masjid Nabawi setiap selesai sholat Maghrib hingga  Isya.  Pada waktu itu saya ikut halaqah Syekh Umar Falata yang mengkaji kitab Nailul Authar dan Syekh Atiah Salim yang mengkaji kitab Buluguhl Maram. Adapun ulama yang terkesan bagi saya adalah Syekh Muhammad Muhtar Syenkiti yang mengajar Buluguhl Maram juga dan Syekh Muhammad Sholeh al Utsaimin.

Selain mempunyai ilmu yang sangat luas, beliau berdua terkenal dengan sifat wara’, dan sangat berhati-hati di dalam menyampaikan ilmunya. Beliau berdua tidak pernah menjelek-jelekan ulama lain. Selain itu, beliau berdua sangat rendah hati dan dermawan serta mempunyai perhatian penuh dengan para penuntut ilmu. Bahkan waktu liburan akhir tahun, saya sempatkan pergi ke tempat Syekh Utsaimin di kota Unaizah, yang jaraknya sekitar 700 km dari Madinah. Di Unaizah,  saya tinggal selama beberapa minggu untuk menimba ilmu di pesantren beliau yang letaknya di samping masjid besar Unaizah.

Bagaimana anda bisa sekolah ke Mesir ?

Setelah empat tahun menyelesaikan jenjang Strata 1 bidang Syariah di Madinah, hampi seluruh teman satu angkatan yang berasal dari Indonesia memilih pulang untuk menikah atau bekerja di Indonesia. Hanya saya yang masih tinggal di Madinah, memikirkan bagaimana bisa melanjutkan sekolah di tempat lain. Saya bertekad untuk tidak menginjakkan kaki di tanah air, sampai seluruh peluang untuk melanjutkan sekolah di luar negri ditempuh dulu, sejak dari negara yang letaknya paling barat yaitu Marokko, Tunisia, Al Jazair, Sudan, Libia, Mesir, Siria, Pakistan dan seterusnya hingga yang paling dekat dengan Indonesia, yaitu Malaysia. Jika saya sudah menembus seluruh negara tersebut, ternyata gagal juga, maka saya baru mau pulang ke Indonesia.

Perjalanan panjang yang penuh resiko itu, saya mulai dari Madinah dengan naik sebuah bis yang mengantarkan saya ke Yordan, dari sana saya hendak mengambil visa untuk menuju Mesir, kemudian ke Marokko. Alhamdulillah setelah seminggu berusaha, dengan izin Allah akhirnya saya bisa mendapatkan visa dari kedutaan Mesir di Yordan, sesuatu yang dianggap tidak mungkin karena aturan tidak mengijinkan hal itu.

Pengalaman apa yang terkesan selama di Mesir ?

Di Mesir, keadaannya sangat berbeda dengan Madinah, saya banyak belajar tentang kehidupan di sana.  Hampir seluruh mahasiswa khususnya di Pasca Sarjana harus menghadapi dua tantangan dalam satu waktu sekaligus, tantangan untuk tetap survival dengan biaya seadanya, apalagi yang sudah berkeluarga, dan tantangan untuk menembus tembok Universitas al Azhar yang begitu kokoh.

Siapa saja guru idola di Mesir ?

Selain belajar di kampus, saya juga belajar langsung kepada para ulama di masjid-masjid sebagaimana saya lakukan di Madinah.  Umpamanya di masjid-masjid Anshor Sunnah saya belajar Aqidah Thohawiyah dari Syekh Sayid Al Arobi, Fikih dari Syekh Muhammad Abdul Maqsud, Aqidah dari Syekh Fauzi Sa’id, Hadist dari Syekh Abu Ishaq Khuwaini dan lain-lain. Di masjid Al Azhar sendiri saya belajar Fikih Syafi’i dan Ushul Fikih dari Prof. Dr. Ali Jum’ah, yang sekarang menjabat sebagai mufti Mesir. Salah satu ulama yang terkesan bagi saya adalah Prof. Dr. Usamah Abdul Adhim, selain beliau membimbing saya di kuliyah dalam bidang Fikih Syafi’i dan Ushul Fikih, beliau juga seorang guru spiritual yang mempunyai sifat wara’, zuhud dan rajin beribadah. Beliau mengkhatamkan al Qur’an hanya dalam waktu tiga malam pada sholat tarawih di bulanRamadhan, dan kadang di luar bulan Ramadhan juga. Masjid beliau yang letaknya di Distrik Syafi’i, di daerah di mana Imam Syafi’i dikuburkan, penuh sesak dikunjungi orang yang ingin sholat tarawih di belakang beliau.  Subhanallah ada saja orang semacam beliau pada zaman yang sudah mendekati kiamat ini.

Apa pesan anda untuk mahasiswa hari ini ?

Pesan saya untuk para mahasiswa bahwa untuk menempuh sebuah cita-cita tidaklah semudah membalikan telapak tangan,  banyak rintangan dan godaan yang harus kita lewati, dan tidak sedikit orang-orang yang berjatuhan di tengah jalan.  Rubahlah setiap rintangan yang ada menjadi sebuah kesempatan untuk memupuk diri dan meningkatkan potensi  serta melatih diri untuk selalu berpikir dan mencari solusi.Dengan mengikhlaskan niat, dan bekal semangat yang kuat diiringi dengan usaha yang gigih serta memohon taufik dari Allah swt, impian apapun, dan betapa besar dan tingginya sebuah cita-cita akan terwujud dengan izin Allah swt.

KARYA TULIS