Penulis
9314 Hits

Fenomena Lembaga Zakat di Indonesia


          Di bawah ini wawancara Majalah Hidayatullah dengan Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA tentang fenomena Lembaga-lembaga Zakat di Indonesia :

 

 Apakah Lembaga Zakat yang ada saat ini sesuai syar’i, terutama dalam penggunaan hak amilnya, mengingat banyak dana Zakat Infaq Sedekah ( ZIS ) yang digunakan untuk operasional yang tidak seharusnya dengan dana yang besar, seperti iklan, acara seremonial, award, dan lain-lainnya ?

 

Kalau kita ingin mengetahui keberhasilan lembaga zakat di Negara kita, bisa kita lihat jumlah fakir miskin, apakah berkurang atau justru meningkat….karena tujuan utama zakat adalah mengentas kemiskinan. Jika kemiskinan masih merajala lela di Negara kita, terutama di ibu kota Jakarta dan di kota-kota lainnya, maka hal itu menunjukkan bahwa lembaga-lembaga zakat kita belum berhasil mengoptimalkan dana zakat dengan sebaik-baiknya. Dan salah satu penyebabnya adalah penggunaan dana-dana zakat secara boros untuk hal-hal yang kurang penting, seperti biaya iklan yang begitu besar dan acara-acara seremonial lainnya.

 

Apakah besaran 1/8 itu bisa dibenarkan secara fiqh dalam artian, jika pengumpulan 200 milyar pertahun, bisa dipakai 12,5 persennya ?

 

Ketentuan bahwa setiap mustahiq zakat yang delapan golongan tersebut mendapatkan 1/8, tidaklah disebutkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah, tetapi itu hanyalah ijtihad sebagian ulama, terutama dalam lingkungan madzhab Syafi’I, dan sebenarnya tujuannya adalah baik yaitu pemerataan dan keadilan. Tetapi pendapat yang lebih tepat adalah bahwa pembagian zakat hendaknya berdasarkan maslahat dan disesuaikan dengan keadaan para mustahiq.

Umpamanya di Indonesia, para mustahiq yang paling banyak adalah fakir dan miskin, sedangkan untuk mustahiq yang lain, seperti budak, mujahid di jalan Allah, dan muallaf  tentunya jauh lebih sedikit, maka tidaklah tepat jika kemudian kita bagikan dana zakat yang terkumpul 200 milyar itu kepada delapan mustahiq, setiap mustahiq   mendapatkan 1/8-nya ;  untuk fakir miskin 1/8, untuk  budak 1/8, untuk para mujahid 1/8, untuk muallaf 1/8 dan seterusnya. 

Begitu juga bagian amil zakat, jika diberi 1/8 dari 200 milyar, jelas tidak tepat. Apalagi amil zakat yang mendapatkan jatah tersebut, hanyalah amil zakat yang bekerja di lembaga zakat pengumpul 200 milyar tersebut, yang jumlah mereka tentunya tidak sebanding dengan dana zakat yang melimpah tersebut. Karena dananya berlebihan, maka ada kecendurangan untuk mengalihkan sebagian dana tersebut untuk biaya iklan-iklan dan lain-lainnya yang sifatnya hanya seremonial tapi terkesan mewah dan berlebih-lebihan. Padahal sebagian besar fakir dan miskin belum tersentuh dengan dana zakat tersebut. Ini yang menyebabkan banyak ketimpangan di dalam pengelolaan zakat.

 

          Soal gaji direktur di beberapa lembaga zakat yang jumlahnya diatas 10 juta, pantaskah? Menurut pandangan hukum fiqhnya bagaimana?

 

Pemahaman bahwa jatah amil zakat adalah 1/8 dari zakat yang terkumpul adalah pemahaman yang kurang tepat dan ini menyebabkan para pengurus lembaga zakat berani mengambil keputusan untuk memberikan gaji seorang direktur lembaga zakat sebesar 10 juta lebih.

          Menurut saya, jumlah gaji 10 juta itu relatif, tergantung kepada pekerjaannya, jumlah dana zakat yang terkumpul  dan keadaan masyarakat yang membutuhkan. Jika seorang direktur, benar-benar professional, artinya bekerja secara full time, dan masyarakat sudah merasa banyak terbantu, pementasan kemiskinan benar-benar berjalan, maka gaji tersebut sah-sah saja.

Tetapi manakala masyarakat secara umum belum merasakan pengaruh zakat dalam kehidupan mereka dan pementasan kemiskinan masih belum berhasil, bahkan orang-orang miskin cenderung bertambah banyak, maka jumlah gaji tersebut terlalu berlebihan. Dan mestinya para pengurus zakat harus bisa mawas diri dan intropeksi bahwa zakat adalah amanah, sebagai amil tugas utamanya adalah mengumpulkan zakat dari masyarakat dan membagikan secara rata dan adil. 

 

Apakah Lembaga Zakat boleh diurus oleh swasta? apakah ini syar’i?

 

Dalam berbagai kajian fiqh disebutkan bahwa sebenarnya penarikan zakat dan pendistribusiannya adalah tanggung jawab pemerintah.  Tetapi manakala pemerintah tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik, seperti di Indonesia ini, maka dibolehkan swasta menangani zakat. Sebenarnya yang menjadi problem utama dalam pengelolaan zakat di Negara kita adalah profesionalisme dan amanat.

Selama ini masyarakat belum percaya penuh kepada pemerintah, khususnya dalam pengelolaan dana-dana yang dihimpun dari masyarakat termasuk di dalamnya zakat. Hal itu dikarenakan sering terjadinya penyelewengan yang dilakukan oknum-oknum pemerintah yang tidak amanat, sehingga sebagian masyarakat masih belum mau menyerahkan pengelolaan zakat ini kepada pemerintah.

Sebagai dampaknya, munculah berbagai lembaga zakat swasta sebagai pengganti tugas pemerintah, dan yang sangat disayangkan kadang sebagai lembaga zakat tersebut kurang professional dan amanat, serta lemahnya kontrol pemerintah dan masyarakat, sehingga pengelolaan zakat tidak maksimal, dan akhirnya yang menjadi korban adalah para mustahiq zakat, terutama fakir dan miskin.

 

Apakah ada hal-hal lain yang perlu dikritisi dari lembaga-lembaga zakat yang ada ?

 

Mereka sering terjebak kepada formalitas, seremonial, sarana prasana, iklan, kemasan dan penampilan yang terkesan mewah,  walau harus menghabiskan dana yang tidak sedikit, padahal hasil dan kinerjanya belum tentu seindah penampilannya.

Selain itu, kurang teliti dan kontrol dalam distribusi zakat kepada para mustahiq, seperti pengeluaran bea siswa yang kadang terlalu jor-joran tanpa seleksi yang ketat, sehingga kadang orang yang kayapun  dapat biaya siswa, padahal masih banyak orang miskin yang berprestasi, karena kurang selektif dan control, sehingga hak-hak mereka terabaikan.

Terakhir, saya mengharapkan lembaga-lembaga zakat di Indonesia mencontoh beberapa lembaga zakat di luar negri, salah satunya Lembaga Zakat Swasta di Mesir yang mempunyai aset ribuan masjid dan ratusan rumah sakit gratis, dan mampu menanggung jutaan rakyat Mesir, memberikan biaya siswa  kepada ribuan pelajar, bahkan masih membantu secara besar-besaran kepada rakyat Palestina dan kepada rakyat Indonesia yang terkena bencana,  namun kalau kita lihat kantor pusatnya yang ada di pinggiran kota Kairo, sungguh sangat sederhana dan para pengurusnya hidup dalam kesederhanaan.

 

Bekasi, 10 Shofar 1434 H / 24 Desember 2012 M

KARYA TULIS