Tsaqafah
3687 Hits

Majelis Fatwa DDII: Dalam Islam, Budak Dihormati dan Dimuliakan


 

Indonesiainside.id, Jakarta — Disertasi kontroversial mahasiswa S3 Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarya, Abdul Aziz, tidak hanya dikritik karena salah memaknai konsep Milkul Yamin. Bahkan jauh melenceng karena konsep ini dijadikan wacana untuk keabasahan hubungan seksual di luar nikah.
Majelis Fatwa Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (Dewan Dakwah) menjelaskan, Milkul Yamin secara bahasa adalah milik tangan kanan, yaitu budak. Di dunia internasional disepakati bahwa orang yang kalah perang atau tawanan perang boleh dijadikan budak.
Dalam pengertian ini, tawanan laki-laki boleh dibunuh, tapi dalam Islam lebih mengedepankan perbudakan. Perbudakan dalam Islam harus dihormati dan diperlakukan seperti manusia biasa.
Budak dalam Islam juga dianggap sebagai teman walaupun statusnya tidak sebagai orang merdeka. Menurut Dr Zain, Islam mewarisi perbudakan dari agama-agama sebelumnya.
“Jadi tidak bisa mengelak karena Islam merupakan salah satu komunitas dalam dunia internasional, namun Islam ingin menghilangkan konsep perbudakan atau meminimalisasi dengan kafarah dan seterusnya,” kata Ketua Majelis Fatwa Dewan Dakwah, Dr Zain An-Najah kepada Indonesia Inside, saat ditemui di kantor MUI, Rabu (4/9).
Zain menjelaskan, pada zaman Rasulullah ketika ada tawanan perang, mereka diperlakukan dengan baik dan di dakwahi agar masuk Islam. Bahkan, Rasulullah memberikan contoh ketika ada tawanan dari orang Yahudi kemudian ditawarkan masuk Islam dan akhirnya dimerdekakan.
“Itu luar biasa. Maka, siapa saja yang punya budak dan dinikahi, menjadi dua pahala,” tuturnya.
Hal ini sudah berlaku sejak zaman Nabi Muhammad SAW di mana para budak dibebaskan, seperti Bilal bin Rabbah dan di zaman Sahabat seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq yang memerdekakan hamba sahaya. Zain menyebutkan, Abu Bakar Ash-Shiddiq memunyai peran besar dalam memerdekakan budak.
“Membeli budak itu mahal harganya dan dibebaskan maka sama seperti infaq, ini luar biasa,” katanya.
Menurut Zain, salah satu hal yang unik dari sistem perbudakan adalah dibolehkan bagi tuannya yang laki-laki untuk menggauli budak perempuannya. Dalam perbudakan, dilakukan akad awal ketika perang usai diberikan bagian (ghanimah) dan berlaku akad jual beli atau akad hibah.
“Jadi seperti akad pernikahan, tapi bunyinya bukan aku nikahkan kamu, melainkan aku beli kamu. Nah, berarti sudah sah dan diperbolehkan tuannya menggauli,” katanya.
Kata Zain, ketika lahir sang anak tersebut menjadi tuan. Maka, salah satu tanda hari kiamat dalam Hadist Bukhari adalah para budak melahirkan tuan-tuannya, artinya perbudakan sangat luas menyebar karena maraknya peperangan di mana-mana.
“Nah, masa jaya Islam itu salah satu tanda hari kiamat. Makanya, dalam Islam dibolehkan melakukan hubungan seksual kepada istri dan budak sesuai surat Al Mu’minun ayat 5 dan 6,” ujarnya.
Islam memberikan batasan jika tidak mampu menikahi empat, maka cukup satu saja sesuai dengan surat An Nisa ayat 3. ” Jadi, tidak perlu Milkul Yamin ditafsirkan ke mana-mana,” kata Zain.
Zain menjelaskan, dalam Islam, ayat dapat diterapkan pada kondisi tertentu, jika kondisi tersebut tidak ada maka ayat tersebut tidak dapat diterapkan. Seperti, zakat yang dialokasikan untuk muallaf.
“Nah, kalau muallaf tidak ada, maka tidak perlu diterapkan kepada muallaf itu. Begitu pun dengan perbudakan, kalau tidak ada peperangan ya tidak bisa diterapkan, ini cara awal istinbath hukum, jadi bukan keadaan memaksa Alquran, tapi Alquran yang memaksa keadaan,” ucapnya.
Menurut Zain, wacana yang diutarakan Syahrur dan Abdul Aziz merusak istinbathul ahkam (pengambilan kesimpulan hukum) oleh para ahli ushul fiqih. Selain itu, dia menilai gagasan ini dipengaruhi oleh nalar dan nafsu.
“Syahrur bukan ulama dan jenjang pendidikan dia teknik sipil di Suriah. Kemudian dia terbiasa dengan lingkungannya yang atheis, nah latar belakang lingkungan dan lingkungan agama itulah yang membuat dia berani mengambil kesimpulan yang tidak pernah dilakukan oleh ulama terdahulu,” katanya.
Maka, wacana kedua orang tersebut dinilai menyalahi Alquran, Assunnah, Ijma, Qiyas, dan sumber-sumber hukum Islam serta kesepakatan jumhur (mayoritas) ulama. Menurut Zain, otoritas ilmu dan otoritas keagamaan penting dimiliki seseorang yang ingin menyampaikan gagasannya.
Zain menambahkan, konsep Milkul Yamin, akan terus ada selama terjadi peperangan antara kelompok Islam dan kelompok non Islam. “Konsep itu akan ada sepanjang zaman, seperti suami-istri yang selalu ada berpasang-pasangan,” katanya. (Aza)

 

Indonesiainside.id, Jakarta — Disertasi kontroversial mahasiswa S3 Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarya, Abdul Aziz, tidak hanya dikritik karena salah memaknai konsep Milkul Yamin. Bahkan jauh melenceng karena konsep ini dijadikan wacana untuk keabasahan hubungan seksual di luar nikah.


Majelis Fatwa Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (Dewan Dakwah) menjelaskan, Milkul Yamin secara bahasa adalah milik tangan kanan, yaitu budak. Di dunia internasional disepakati bahwa orang yang kalah perang atau tawanan perang boleh dijadikan budak.


Dalam pengertian ini, tawanan laki-laki boleh dibunuh, tapi dalam Islam lebih mengedepankan perbudakan. Perbudakan dalam Islam harus dihormati dan diperlakukan seperti manusia biasa.


Budak dalam Islam juga dianggap sebagai teman walaupun statusnya tidak sebagai orang merdeka. Menurut Dr Zain, Islam mewarisi perbudakan dari agama-agama sebelumnya.


“Jadi tidak bisa mengelak karena Islam merupakan salah satu komunitas dalam dunia internasional, namun Islam ingin menghilangkan konsep perbudakan atau meminimalisasi dengan kafarah dan seterusnya,” kata Ketua Majelis Fatwa Dewan Dakwah, Dr Zain An-Najah kepada Indonesia Inside, saat ditemui di kantor MUI, Rabu (4/9).


Zain menjelaskan, pada zaman Rasulullah ketika ada tawanan perang, mereka diperlakukan dengan baik dan di dakwahi agar masuk Islam. Bahkan, Rasulullah memberikan contoh ketika ada tawanan dari orang Yahudi kemudian ditawarkan masuk Islam dan akhirnya dimerdekakan.


“Itu luar biasa. Maka, siapa saja yang punya budak dan dinikahi, menjadi dua pahala,” tuturnya.


Hal ini sudah berlaku sejak zaman Nabi Muhammad SAW di mana para budak dibebaskan, seperti Bilal bin Rabbah dan di zaman Sahabat seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq yang memerdekakan hamba sahaya. Zain menyebutkan, Abu Bakar Ash-Shiddiq memunyai peran besar dalam memerdekakan budak.


“Membeli budak itu mahal harganya dan dibebaskan maka sama seperti infaq, ini luar biasa,” katanya.


Menurut Zain, salah satu hal yang unik dari sistem perbudakan adalah dibolehkan bagi tuannya yang laki-laki untuk menggauli budak perempuannya. Dalam perbudakan, dilakukan akad awal ketika perang usai diberikan bagian (ghanimah) dan berlaku akad jual beli atau akad hibah.


“Jadi seperti akad pernikahan, tapi bunyinya bukan aku nikahkan kamu, melainkan aku beli kamu. Nah, berarti sudah sah dan diperbolehkan tuannya menggauli,” katanya.


Kata Zain, ketika lahir sang anak tersebut menjadi tuan. Maka, salah satu tanda hari kiamat dalam Hadist Bukhari adalah para budak melahirkan tuan-tuannya, artinya perbudakan sangat luas menyebar karena maraknya peperangan di mana-mana.


“Nah, masa jaya Islam itu salah satu tanda hari kiamat. Makanya, dalam Islam dibolehkan melakukan hubungan seksual kepada istri dan budak sesuai surat Al Mu’minun ayat 5 dan 6,” ujarnya.


Islam memberikan batasan jika tidak mampu menikahi empat, maka cukup satu saja sesuai dengan surat An Nisa ayat 3. ” Jadi, tidak perlu Milkul Yamin ditafsirkan ke mana-mana,” kata Zain.


Zain menjelaskan, dalam Islam, ayat dapat diterapkan pada kondisi tertentu, jika kondisi tersebut tidak ada maka ayat tersebut tidak dapat diterapkan. Seperti, zakat yang dialokasikan untuk muallaf.


“Nah, kalau muallaf tidak ada, maka tidak perlu diterapkan kepada muallaf itu. Begitu pun dengan perbudakan, kalau tidak ada peperangan ya tidak bisa diterapkan, ini cara awal istinbath hukum, jadi bukan keadaan memaksa Alquran, tapi Alquran yang memaksa keadaan,” ucapnya.


Menurut Zain, wacana yang diutarakan Syahrur dan Abdul Aziz merusak istinbathul ahkam (pengambilan kesimpulan hukum) oleh para ahli ushul fiqih. Selain itu, dia menilai gagasan ini dipengaruhi oleh nalar dan nafsu.


“Syahrur bukan ulama dan jenjang pendidikan dia teknik sipil di Suriah. Kemudian dia terbiasa dengan lingkungannya yang atheis, nah latar belakang lingkungan dan lingkungan agama itulah yang membuat dia berani mengambil kesimpulan yang tidak pernah dilakukan oleh ulama terdahulu,” katanya.


Maka, wacana kedua orang tersebut dinilai menyalahi Alquran, Assunnah, Ijma, Qiyas, dan sumber-sumber hukum Islam serta kesepakatan jumhur (mayoritas) ulama. Menurut Zain, otoritas ilmu dan otoritas keagamaan penting dimiliki seseorang yang ingin menyampaikan gagasannya.


Zain menambahkan, konsep Milkul Yamin, akan terus ada selama terjadi peperangan antara kelompok Islam dan kelompok non Islam. “Konsep itu akan ada sepanjang zaman, seperti suami-istri yang selalu ada berpasang-pasangan,” katanya. (Aza)

KARYA TULIS