Karya Tulis
124 Hits

Tafsir An-Najah (Qs.4: 128) Bab 252 Perdamaian dalam Pernikahan


وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْۢ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْ اِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۗوَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗوَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

“Jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya. Perdamaian itu lebih baik (bagi mereka), walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Jika kamu berbuat kebaikan dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tidak acuh) sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

(Qs. an-Nisa’: 128)

 

Pelajaran (1) Sebab Turunnya Ayat

(1) Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Saudah binti Zam’ah radhiyallahu ‘anha, salah satu istri Rasulullah ﷺ khawatir dirinya akan diceraikan oleh Rasulullah ﷺ. Lalu beliau berkata, “Wahai Rasulullah, janganlah engkau menceraikan aku, dan hari gilirku untuk ‘Aisyah.” Lalu Rasulullah ﷺ melakukannya, maka turunlah ayat ini. (HR. at-Tirmidzi)

(2) Berkata ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Ayat ini turun berkenaan dengan seorang wanita yang mempunyai suami, dan suaminya ingin menikah dengan wanita lain kemudian menceraikannya. Lalu wanita tersebut berkata, “Jangan ceraikan aku. Silakan engkau menikah lagi dengan wanita lain. Engkau tidak usah memikirkan nafkah dan giliranku.”

(3) Diriwayatkan dari asy-Syafi’i dari Sa’id bin al-Musayyib bahwa Khaulah binti Muhammad bin Maslamah, istri dari Rafi’ bin Khadij, suaminya ingin menceraikannya karena dia sudah menikah dengan wanita lain. Berkata Khaulah, “Jangan ceraikan aku, silakan digilir sesuai keinginanmu.” Mereka berdua sepakat akan hal itu.

(4) Diriwayatkan juga bahwa Rasulullah ﷺ pernah marah kepada Shafiyah radhiyallahu ‘anha. Kemudian Shafiyah radhiyallahu ‘anha mendatangi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan berkata, “Aku minta engkau mendamaikan antara aku dan Rasulullah ﷺ, nanti giliranku aku berikan kepadamu.” Lalu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menyetujui tawaran Shafiyah dan menyampaikan hal itu kepada Rasulullah ﷺ. Beliau ﷺ pun menyetujui hal itu.

 

Pelajaran (2) Nusyuz dan Berpaling

وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْۢ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْ اِعْرَاضًا

“Jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh.”

(1) Kata (خَافَتْ) artinya dia (perempuan) takut atau khawatir. Maksudnya di sini adalah seorang istri khawatir kalau suaminya akan menceraikannya setelah ada tanda-tanda yang menunjukkan hal itu.

Kata (بَعْلِ) artinya suami.

(2) Kata (نُشُوْزٌ) artinya tinggi. Kata ini untuk menyebut seorang istri yang membangkang dan melawan suaminya, serta tidak mau taat kepadanya. Digunakan juga untuk menyebut seorang suami yang menjauhi istrinya, tidak mengajaknya bicara dan tidak menggaulinya. Di antara tanda-tanda seorang suami nusyuz kepada istrinya adalah sedikit bicara dengannya, kurangnya rasa cinta kepada istrinya, tidak mau menghiburnya, dan tanda-tanda serupa dengan itu.

 

Pelajaran (3) Perdamaian itu Lebih Baik

فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا

“Keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya.”

(1) Pada ayat di atas, Allah memberikan jalan keluar untuk mengatasi retaknya hubungan antara suami-istri, yaitu dengan mengadakan perdamaian (الصُلْحُ).

Konsekuensi dari sebuah perdamaian adalah masing-masing dari kedua belah pihak merelakan haknya demi mencapai sesuatu yang lebih besar dan bermanfaat.

(2) Seorang suami ketika mengadakan perdamaian dengan istrinya yang kurang dicintainya lagi, dia kehilangan haknya untuk menceraikannya dengan imbalan dia mendapatkan sesuatu dari istrinya tersebut, seperti tidak membeirkan nafkah kepadanya, atau giliran istri tersebut dipindahkan kepada istri lain, atau dia mendapatkan sejumlah harta dari istrinya tersebut, atau bentuk lainnya yang serupa.

(3) Begitu juga seorang istri yang mengadakan perdamaian dengan suami yang sudah tidak mencintainya lagi, dia akan kehilangan sebagian dari haknya, seperti hak mendapatkan nafkah lahir dan batin, hak mendapatkan giliran bermalam dengan suaminya, atau sejumlah hak lainnya. Tetapi dia mendapatkan imbalan dari suaminya, yaitu tetap dipertahankan menjadi istri dari suaminya tersebut dan tidak diceraikannya.

Perdamaian ini sebaikanya dilakukan antara suami-istri secara rahasia dan tidak perlu disebarkan di masyarakat, khawatir akan menimbulkan kesalahpahaman di antara mereka.

(4) Firman-Nya,

وَالصُّلْحُ خَيْرٌ

“Perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).”

(a) Maksudnya berdamai itu lebih baik daripada bercerai. Ayat ini menguatkan sebuah kaidah fiqih yang berbunyi,

“Jika ada dua amfsadah (kerusakan) yang saling bertentangan, maka diambil yang paling sedikit bahayanya (mudharatnya).”

Kaidah ini bisa diterapkan dalam menyelesaikan problematika kelaurga, sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an dengan istilah (الصُّلْحُ) atau perdamaian.

(b) Di manakah letak dua mafsadahnya?

Mafsadah (kerusakan) pertama adalah perceraian. Adapun mafsadah kedua adalah tidak terjadinya pernikahan yang ideal atau pembagian gilir yang ideal.

Untuk menghindari kerusakan yang lebih besar yaitu perceraian, maka dibolehkan suami istri melakukan perdamaian walaupun membawa mafsadah atau kerusakan (yang lebih ringan) pada kedua belah pihak.

 

Pelajaran (4) Cemburu Fitrah Manusia

وَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ

“Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.”

(1) Maksudnya bahwa jiwa manusia itu biasanya sayang denga napa yang dimilikinya dan tidak mau membagikan dengan orang lain.

Kata (الشُّحُّ) artinya bakhil yang disertai dengan ketamakan. Kata ini biasanya digunakan untuk mengungkapkan kekikiran (kebakhilan) dalam harta benda. Pada ayat ini digunakan untuk menunjukkan sifat manusia yang tidak mau mengalah atau mengorbankan haknya sedikitpun.

(2) Sifat ini berlaku umum, baik untuk laki-laki maupun wanita. Tetapi ath-Thabari cenderung berpendapat bahwa maksud jiwa di sini adalah jiwa wanita. Khususnya dalam masalah poligami, seorang istri akan berusaha mempertahankan hak-haknya, seperti hak untuk mendapatkan nafkah dan gilir bermalam dengan suaminya.

(3) Pendapat ini tidak sepenuhnya salah, walaupun sifat kikir terdapat pada diri laki-laki dan wanita. Akan tetapi dalam masalah poligami, wanita sangat berat untuk menjalaninya, walaupun dia orang yang memahami ajaran agama Islam dengan baik.

Wanita yang bisa menerima dan sudah menjalaninya pun tetap merasa sangat berat jika hak-haknya untuk mendapatkan nafkah dan gilirannya dikurangi untuk diberikan kepada madunya. Dalam bahasa sederhananya, wanita itu punya tabiat cemburu. Bahkan setingkat istri-istri Rasulullah ﷺ juga memiliki rasa cemburu.

 

Pelajaran (5) Ihsan dan Takwa

وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

“Jika kamu berbuat kebaikan dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tidak acuh) sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

(1) Penutup ayat ini ditujukan kepada para suami agar berbuat baik kepada istri-istrinya, memperlakukan mereka dengan lemah lembut, tidak kasar kepada mereka dan sabar dengan kekurangan mereka.

(2) Pada ayat ini disebutkan dua hal yaitu ihsan dan takwa. Ihsan maksudnya adalah berbuat baik kepada istri, dan takwa yaitu takut kepada Allah. Seorang suami yang takut kepada Allah, dia akan berbuat baik kepada istrinya sebagai bentuk pertanggungjawabannya sebagai suami di hadapan Allah.

(3) Salah satu cara mencapai ketakwaan adalah dengan meyakini bahwa Allah melihat segala perbuatan kita.

 

***

Jakarta, Selasa, 17 Mei 2022

KARYA TULIS