Karya Tulis
130 Hits

Tafsir An-Najah (Qs.4: 129) Bab 253 Dua Keadilan


وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

“Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Oleh karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Jika kamu mengadakan islah (perbaikan) dan memelihara diri (dari kecurangan), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

(Qs. an-Nisa’: 129)

 

Pelajaran (1) Condong kepada Salah Satu Istri

(1) Pada ayat sebelumnya dibahas tentang perdamaian dalam pernikahan. Ini dilakukan ketika terjadi keretakan hubungan suami-istri. Terutama ketika suami menikah lagi dengan wanita lain, dan dia lebih condong kepada salah satunya, sedangkan istri yang lain tetap ingin bersama suaminya, maka disepakati sebuah perdamaian dalam pernikahan untuk menjaga keutuhan rumah tangga.

(2) Pada ayat ini Allah melarang seorang suami untuk secara sengaja menampakkan kecondongan kepada salah satu istrinya secara berlebihan, apalagi menjadikan salah satu istri lainnya seakan menggantung, tidak diperlakukan sebagai istri dan tidak pula diceraikan.

 

Pelajaran (2) Dua Keadilan

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ

“Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu).”

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang suami tidak mungkin bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya walaupun dia berusaha untuk itu. Hal itu karena keadilan di dalam poligami ada dua bentuk, yaitu:

Pertama: keadilan lahir, yaitu keadilan yang bisa dilihat oleh kasat mata dan bisa terukur oleh fisik, seperti adil dalam bermalam, memberikan nafkah lahir, pakaian, rumah, dan sejenisnya.

Keadilan seperti ini bisa diusahakan oleh manusia dan masuk dalam kewajiban suami. Walaupun diakui tidak akan bisa berlaku dalam segala hal di luar kemampuan manusia. Keadilan dalam bentuk inilah yang dimaksud dalam firman Allah ﷺ,

فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

“Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zhalim.” (Qs. an-Nisa’: 3)

Kedua: Keadilan batin, yaitu keadilan yang tidak bisa dilihat oleh kasat mata dan tidak bisa diukur secara fisik, seperti kecintaan, kecenderungan hati, hubungan suami-istri, kerinduan, dan sejenisnya.

Keadilan dalam bentuk kedua inilah yang dimaksud dalam firman Allah di atas,

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

“Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.”

Hal itu karena keadilan seperti ini di luar kemampuan manusia dan Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya, sebagaimana dalam firman-Nya,

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya.” (Qs. al-Baqarah: 286)

 

Pelajaran (3) Rasulullah ﷺ dan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha

(1) Di dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah ﷺ setelah menggilir semua istrinya secara adil, beliau pun bersabda,

اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ قَالَ أَبُو دَاوُد يَعْنِي الْقَلْبَ

“Ya Allah, inilah pembagianku yang aku mampu, maka janganlah Engkau cela aku pada sesuatu yang Engkau mampu dan tidak aku mampu.” (HR. Ibnu Majah)

(2) Hadits di atas mencakup dua bentuk keadilan, pertama keadilan lahir (materi), yaitu gilir bermalam dan nafkah, dimana Rasulullah ﷺ telah melaksanakannya dengan baik yang terungkap dalam sabda beliau ﷺ, “Inilah yang aku miliki (mampu).” Kedua keadilan batin, yaitu kecintaan dan kecenderungan hati, dimana Rasulullah ﷺ tidak mampu melaksanakannya. Ini terungkap dalam sabda beliau ﷺ, “Maka janganlah Engkau cela aku pada sesuatu yang Engkau mampu dan tidak aku mampu.”

(3) Sebagian yang telah diketahui bahwa Rasulullah ﷺ lebih cenderung hatinya dan lebih mencintai ‘Aisyah daripada istri-istri lainnya radhiyallahu ‘anhunna. Suatu ketika Rasulullah ﷺ menugaskan sahabat ‘Amru bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu untuk memimpin pasukan Dzatus Salasil, maka ia pun menghampiri Rasulullah ﷺ dan bertanya,

أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ : عَائِشَةُ، فَقُلْتُ : مِنَ الرِّجَالِ؟ فَقَالَ : أَبُوهَا، قُلْتُ : ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ, فَعَدَّ رِجَالًا

“Siapakah orang yang paling engkau cintai? Beliau ﷺ menjawab, ‘Aisyah.’ Aku bertanya, ‘(Maksudku) dari kaum laki-laki?’ Beliau pun menjawab, ‘Ayahnya (yaitu Abu Bakar)’. Aku bertanya lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Umar bin Khattab.’ Kemudian beliau ﷺ menyebutkan beberapa orang yang dicintainya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Pelajaran (4) Membiarkan Terkatung-katung

فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

“Oleh karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.”

(1) Seorang laki-laki tidak mampu mengendalikan kecintaan dan kecenderungan hatinya kepada salah satu istrinya, sebab hal itu di luar kemampuan manusia. Namun walaupun demikian, janganlah kemudian hal tersebut menjadi alasan untuk menelantarkan istri yang lainnya. Seorang suami harus berusaha bersungguh-sungguh untuk berbuat adil semampunya. Seandainya dia cenderung secara hati kepada salah satu istrinya, hendaknya tidak dinampakkan atau bahkan dipamerkan secara sengaja kepada istri lainnya.

(2) Firman-Nya,

فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

“Sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.”

Maksudnya jangan sampai seorang suami mengabaikan istrinya dan membiarkannya terkatung-katung. Seakan-akan seperti wanita yang tidak mempunyai suami dan tidak pula seperti wanita yang dicerai. Dia tidak mendapatkan perhatian, kasih sayang dari suami, tetapi tidak bisa juga menikah dengan laki-laki lain sebab belum diceraikan oleh suaminya.

 

Pelajaran (5) Sabar dan Takwa

وَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

“Jika kamu mengadakan islah (perbaikan) dan memelihara diri (dari kecurangan), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

(1) Penutup ayat ini memberikan arahan kepada para suami agar bersabar atas kekurangan yang ada pada salah satu istrinya, sebab tidak ada manusia yang sempurna. Bersabar untuk tetap mempertahankan keutuhan rumah tangga, dan tetap untuk memperhatikan istrinya, walaupun banyak kekurangan dalam dirinya.

Juga menganjurkan suami-istri tetap bertakwa kepada Allah dan takut terhadap siksa-Nya jika menzhalimi istrinya. Takwa berarti seorang suami selalu merasa diawasi oleh Allah dalam setiap tindakan dan sikapnya terhadap istri-istrinya.

(2) Allah Maha Pengampun dan Penyayang mengampuni kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh suami-istri dalam mengarungi bahtera kehidupan suami-istri, karena sikap manusia pasti berbuat salah dan khilaf.

Allah juga Maha Penyayang terhadap hamba-Nya, sehingga menurunkan hukum-hukum-Nya terkait dengan hubungan suami-istri. Juga memberikan arahan agar suami-istri tetap harmonis, saling menyayangi dan mencintai, sehingga keluarganya menjadi keluarga yang Sakinah, mawaddah dan rahmah.

 

Pelajaran (6) Kaya Ketika Berpisah

وَاِنْ يَّتَفَرَّقَا يُغْنِ اللّٰهُ كُلًّا مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَكَانَ اللّٰهُ وَاسِعًا حَكِيْمًا

“Jika keduanya bercerai, Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari keluasan (karunia)-Nya. Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.” (Qs. an-Nisa’: 130)

(1) Ketika suami istri sudah berusaha untuk memperbaiki keretakan rumah tangga dengan berbagai cara, termasuk cara perdamaian yang disebutkan pada ayat sebelumnya, maka tidak ada cara lain lagi, kecuali berpisah dan bercerai.

(2) Jika suami istri memilih bercerai dengan cara yang baik dan diniatkan ikhals karena Allah, maka Allah menjanjikan kepada keduanya kekayaan dan kecukupan. Allah Maha Luas rezeki-Nya.

(3) Barangkali suami yang bercerai ini akan mendapatkan istri yang shalihah dan selalu mendoakan suaminya sehingga usahanya sukses dan menjadi kaya. Begitu juga istri yang dicerai, boleh jadi dia mendapatkan suami baru yang shalih dan kaya, sehingga mencukupi segala kebutuhan hidupnya. Sangat mudah bagi Allah menghadirkan pasangan bagi yang bercerai itu, masing-masing menjadi orang kaya.

(4) Diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad bahwa beliau didatangi seorang laki-laki yang mengadukan keadaannya yang sangat miskin, maka beliau menyarankan untuk segera menikah. Ini berdasarkan firman Allah,

وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡۚ إِن يَكُونُواْ فُقَرَآءَ يُغۡنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nur: 32)

Setelah menikah beberapa lama, dia datang lagi mengadukan keadaannya yang tetap miskin, maka beliau menyarankan kepadanya untuk menceraikan istrinya. Ini berdasarkan ayat ini,

وَإِن يَتَفَرَّقَا يُغۡنِ ٱللَّهُ كُلّٗا مِّن سَعَتِهِۦۚ وَكَانَ ٱللَّهُ وَٰسِعًا حَكِيمٗا

“Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.” (Qs. an-Nisa’: 130)

Ketika ditanya tentang hal itu, beliau menjawab, “Aku menyuruhnya menikah karena berharap dia termasuk ke dalam golongan yang disebut pada ayat Qs. an-Nur: 32. Dan ketika masih mengeluhkan kemiskinannya, aku menyuruhnya untuk bercerai dengan harapan dia termasuk golongan yang disebut pada ayat Qs. an-Nisa’: 130 di atas.

(5)  Terdapat kisah nyata pada zaman ini, seorang wanita yang rajin berbisnis bertahun-tahun lamanya, tetapi usahanya tidak kunjung berhasil dan selalu gagal. Pada suatu hari dia berselisih dengan suaminya, yang berujung pada perceraian keduanya. Tidak berapa lama wanita ini kemudian menikah lagi dengan suami yang baru. Dengan izin Allah, usaha yang dirintisnya selama ini tiba-tiba maju pesat dan menghasilkan keuntungan yang sangat banyak. Akhirnya dia menjadi wanita yang sangat kaya raya.

(6) Allah Maha Kaya dan Maha Bijaksana

وَكَانَ اللّٰوَاسِعًا حَكِيْمًا

“Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.”

(a) Allah Maha Kaya mampu memberikan kekayaan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Seseorang yang ingin menikah tidak perlu takut miskin, karena Allah akan memberikan rezeki kepadanya. Begitu juga sebaliknya, suami-istri yang bercerai tidak perlu takut miskin, karena Allah yang menjamin rezeki bagi keduanya setelah bercerai. Yang paling penting adalah meluruskan niat agar selalu ikhlas dan mencari ridha-Nya saja.

(b) Allah juga Maha Bijaksana dalam meletakkan hukum-hukum-Nya, termasuk hukum perceraian. Allah juga Maha Bijaksana dalam menentukan siapa yang akan diberikan kekayaan dan siapa yang diuji dengan kemiskinan.

 

***

Jakarta, Rabu, 18 Mei 2022

KARYA TULIS