Karya Tulis
818 Hits

Bab 2 Doa Nabi Nuh


رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا تَبَارًا

Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan.

(Qs. Nuh: 28)

 

Hikmah (5): Memintakan Ampunan kepada Kedua Orang Tua

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ

“Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku.”

(1) ‘Abdul Karim Yunus di dalam at-Tafsir al-Qur’ani (15/1206) menjelaskan bahwa setelah Nabi Nuh mendoakan kehancuran untuk orang-orang kafir dan orang-orang yang sesat, hati beliau tetap terbuka kasih sayangnya dan rasa kasihannya kepada orang-orang beriman. Maka beliau memohonkan ampun kepada Allah untuk dirinya, kedua orang tuanya, keluarganya, dan seluruh orang beriman.

(2) Sayyid Quthub di dalam Fii Zhilali al-Qur’an (6/3717) menjelaskan bahwa doa Nabi Nuh meminta ampun kepada Allah atas dosa-dosanya merupakan adab seorang hamba kepada Tuhannya. Hamba yang tidak lupa bahwa dirinya adalah manusia yang sering berbuat salah, walaupun berusaha secara terus menerus mentaati dan menyembah Allah, tetap saja terjerumus dalam kesalahan. Seorang hamba yang meyakini bahwa dirinya tidak akan masuk surga dengan amal perbuatannya, kecuali melalui rahmat Allah.

(3) Abu Bakar al-Jazairi di dalam Aisar at-Tafasir (5/445) menjelaskan bahwa ayat di atas menunjukkan anjuran agar seseorang ketika berdoa, hendaknya berdoa untuk dirinya terlebih dahulu, baru untuk orang lain, dimulai yang paling dekat, kedua orang tuanya, keluarganya, dan seluruh orang-orang beriman.

(4) Al-Baghawi di dalam Ma’alim at-Tanzil (5/158) menjelaskan bahwa nama bapaknya adalah Lamak bin Matusyalih, dan ibunya adalah Samha binti Anusy atau Haijal binti Lamus bin Matusyalih (ibunya Nabi Nuh adalah anak pamannya). Dan ini menunjukkan bahwa kedua orang tuanya adalah orang yang beriman.

Al-Qurthubi di dalam al-Jami’ li-Ahkami al-Qur’an (12/321) menyebutkan perkataan al-Kalbi bahwa, “Antara Nabi Nuh dan Nabi Adam terdapat 10 bapak, semuanya beriman.”

(5) Doa di atas mengisyaratkan bahwa Nabi Nuh adalah anak shalih yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya. Doa nabi Nuh di atas sesuai firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24)

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".” (Qs. al-Isra: 23-24)

Ini juga sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 إنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ، أَنَّى لِي هَذِهِ؟ فَيَقُولُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

“Sesungguhnya Allah telah mengangkat derajat seorang hamba sholeh di syurga. Hamba tersebut bertanya kepada Allah, “Wahai Rabb, mengapa derajat saya jadi terangkat?” Allah berfirman, “Itu, karena anakmu memohonkan ampun atas dosa-dosamu.” (HR. Ahmad dan al-Baihaqi dari hadist Abu Hurairah. Berkata al-Munawi: Berkata adz-Dzahabi di dalam al-Muhadzab: “Sanadnya kuat.” Berkata al-Haitsami: “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan ath-Thabari dengan sanad yang para perawinya adalah perawi shahih, kecuali ‘Ashim bin Bahdalah dia adalah hasan haditsnya.) 

Hikmah (): Tamu yang Shalih

وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا

“Orang yang masuk ke rumahku dengan beriman.”

(1) Setelah mendoakan diri dan kedua orang tuanya, Nabi Nuh mendoakan orang-orang yang masuk ke dalam rumahnya. Maksud dari ‘rumah’ pada ayat ini, para ulama berbeda pendapat sebagaimana disebutkan oleh al-Baghawi di dalam Ma’alim at-Tanzil (5/158) dan al-Qurthubi di dalam al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an;

(a) Pendapat Pertama, maksudnya adalah ‘siapa saja yang masuk ke dalam rumahku dan beriman kepadaku’. Dengan demikian, anaknya (Kan’an) dan istrinya tidak masuk dalam kategori ini, karena keduanya kafir. Ini sesuai dengan hadits Abu Sa’id al-Khudri bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تَصْحَبْ إِلَّا مُؤْمِنًا وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ

“Janganlah engkau bersahabat kecuali dengan seorang mukmin dan janganlah memakan makananmu kecuali seorang yang bertakwa.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Daud. Redaksi hadits diambil dari Ahmad.)

Ibnu ‘Asyur di dalam at-Tahrir wa at-Tanwir (29/215) menerangkan bahwa penyebutan (dakhala baiti) maksudnya adalah orang yang terus menerus masuk ke dalam rumahnya. Berarti masuk di dalamnya seluruh keluarga dan anak-anaknya yang beriman.

Jika yang dimaksud ‘rumahku’ adalah “keluargaku” maka doa ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. al-Furqan: 74)

(b) Pendapat Kedua, maksudnya adalah “siapa saja yang masuk ke masjidku” Ini pendapat adh-Dhahak dan al-Kalbi, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir di dalam Tafsir al-Qur’an al-’Adhim (8/237). Pendapat ini juga dipilih oleh al-Maraghi di dalam tafsirnya (29/90).

Berkata al-Qurthubi di dalam al-Jami’ li-Ahkami al-Qur’an (12/321), “Masuk masjid menyebabkan seseorang mendapatkan doa dan ampunan.” Ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

 الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ مَا لَمْ يُحْدِثْ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ لَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا دَامَتْ الصَّلَاةُ تَحْبِسُهُ لَا يَمْنَعُهُ أَنْ يَنْقَلِبَ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا الصَّلَاةُ

“Para Malaikat berdo'a untuk salah seorang dari kalian selama dia masih pada posisi shalatnya dan belum berhadats, 'Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia'. Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti pelaksanaan shalat. Dimana tidak ada yang menghalangi dia untuk kembali kepada keluarganya kecuali shalat itu.” (HR. al-Bukhari, 619)

(c) Pendapat Ketiga, maksudnya adalah “siapa saja yang masuk ke dalam kapalku.”

(d) Pendapat Keempat, maksudnya adalah “siapa saja yang masuk ke dalam agamaku.”

(2) Ayat di atas juga menunjukkan perintah kepada orang beriman untuk mencari lingkungan yang baik dan teman bergaul yang shalih, karena akan mempengaruhi keimanannya. Sebagaimana di dalam hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً

“Sesungguhnya perumpamaan teman dekat yang baik dan teman dekat yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Seorang penjual minyak wangi terkadang mengoleskan wanginya kepada kamu dan terkadang kamu membelinya sebagian atau kamu dapat mencium semerbak harumnya minyak wangi itu. Sementara tukang pandai besi adakalanya ia membakar pakaian kamu ataupun kamu akan menciumi baunya yang tidak sedap.” (HR. Muslim, 4762)

Hikmah (): Mendoakan Orang-Orang Beriman

وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

“Dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan.

(1) Pada ayat ini, Nabi Nuh memintakan ampunan untuk seluruh orang beriman laki-laki dan perempuan, yang masih hidup maupun yang sudah mati. Oleh karenanya, dianjurkan bagi kita umat Islam ikut berdoa seperti doanya Nabi Nuh.

(2) Doa Nabi Nuh di atas mencakup doa untuk diri sendiri, kedua orang tua, orang-orang yang terdekat, kemudian untuk seluruh orang beriman. Berurutan dari yang khusus untuk pribadi, kemudian beranjak untuk yang umum, kemudian yang lebih umum lagi.

Hikmah (): Orang Zhalim akan Binasa

وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا تَبَارًا

“Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zhalim itu selain kebinasaan.”

(1) Doa Nabi Nuh di atas mirip dengan doa Nabi Adam ‘alaihi as-salam. Kemiripan keduanya terdapat dalam dua hal;

(a) Kedua doa tersebut berisi memohon ampunan dari Allah,

(b) Kedua doa tersebut ditutup dengan pernyataan bahwa orang yang tidak mendapat ampunan Allah akan merugi atau binasa dalam kehidupan di dunia dan akhirat.

(2) Menurut Ibnu ‘Asyur di dalam at-Tahrir wa at-Tanwir (29/215), maksud dari firman-Nya “Janganlah Engkau tambahkan kepada orang zhalim kecuali kebinasaan” adalah “Janganlah Engkau tambahkan harta dan anak (pengikut) kepada mereka sehingga menjadi kekuatan bagi mereka untuk mengganggu orang beriman, tetapi jadikanlah harta dan pengikut tersebut menjadi penyebab kehancuran bagi mereka.”

Ini sesuai dengan firman Allah,

وَقَالَ مُوسَى رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ

“Musa berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan Kami -akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.” (Qs. Yunus: 88)

(3) ‘Abdul Karim Yunus di dalam at-Tafsir al-Qur’ani (15/1206) menjelaskan bahwa makna (tabara) pada ayat di atas adalah kehancuran dan jauh dari kebaikan. Ini mirip dengan firman Allah,

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ

Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.” (Qs. al-Masad: 1)

Beliau juga menjelaskan bahwa Nabi Nuh ‘alaihi as-salam ketika mendoakan kehancuran kaumnya, secara kasat mata kelihatan tidak memiliki toleransi dan kasihan sedikit pun kepada mereka. Tetapi sebenarnya kalau direnungi secara mendalam, beliau adalah orang yang paling sabar dalam berdakwah.

Bagaimana tidak, selama 950 tahun, beliau terus menerus berdakwah dengan berbagai cara kepada kaumnya mengajak kebaikan, tetapi yang didapat justru caci maki, olok-olokan, tekanan psikis dan fisik, bahkan salah satu anak dan istrinya ikut menentang dakwahnya. Selama itu juga beliau bersabar dan tidak pernah mendoakan kejelekan kepada mereka, kecuali di saat-saat terakhir saja selama 950 tahun. Dari kenyataan di atas, beliau dimasukkan ke dalam golongan para nabi yang mempunya kemauan kuat dan kesabaran yang luar biasa, atau disebut dengan Ulul ‘Azmi.

(4) Ayat di atas menunjukkan kebolehan mendoakan kebinasaan orang-orang zhalim. Ini mirip dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nisa’: 148)

Di dalam tafsirnya (2/442), Ibnu Katsir menyebut perkataan Ibnu ‘Abbas, “Allah tidak menyukai seseorang yang mendoakan kejelekan atas orang lain kecuali dia dizhalimi. Sesungguhnya dia diberi keringanan untuk mendoakan kejelekan kepada yang menzhalimi berdasarkan firman-Nya (kecuali yang dizhalimi), tetapi jika dia bersabar, tentunya lebih baik baginya.”

Bersabar dan memaafkan itu lebih baik sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim.” (Qs. asy-Syura: 40)

Sangat indah apa yang ditulis Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (7/212) ketika beliau mengatakan bahwa sebagian ulama berkata, “Ketika Allah menyebutkan tiga golongan orang beriman (dalam Qs. Fathir: 32) yaitu:

(a) kelompok yang menzhalimi dirinya sendiri,

(b) kelompok pertengahan, dan

(c) kelompok yang terdepan dalam beramal shalih.

Maka pada ayat ini Allah kembali menyebut tiga golongan tersebut dalam bentuk lain:

(a) kelompok pertengahan yang membalas kezhaliman sesuai dengan kadarnya,

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.”

(b) Kelompok yang terdepan dalam beramal shalih dengan memaafkan kezhaliman,

فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ

“Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.”

(c) Kelompok yang berbuat zhalim,

 إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim.”

Kesimpulannya, bahwa pada ayat ini, Allah memerintahkan untuk berbuat adil (al-’adlu) dan menganjurkan untuk lebih mengutamakan memberikan maaf (al-fadhlu), serta melarang perbuatan zhalim (al-zhulmu).”

 

***

KARYA TULIS